Daerah

Perdebatan Emosional Cermin Kemunduran Islam di Indonesia

Sab, 20 Juni 2020 | 15:30 WIB

Perdebatan Emosional Cermin Kemunduran Islam di Indonesia

Sayang sekali agama dalam perkembangan pascareformasi ini semakin dibawa ke dalam perdebatan emosional dan bukan masalah intelektual.

Malang, NU Online
Di media sosial kerap marak perdebatan tentang bid'ah atau tidak suatu amalan. Perbincangan itu bukan hanya menguras emosi para pelaku debat tapi juga kadang memicu saling komentar negatif kepada lawan bicara. 


Luqman Ahsanul Karom, pengajar di Pondok Pesantren PPAI An-Nahdliyyah Kepuharjo Karangploso Malang, Jawa Timur, menilai fenomena tersebut merupakan cermin kemunduran perkembangan Islam di Indonesia, khususnya ketika perdebatan tersebut dilakukan oleh para akademisi.


Ketua Pergunu Kecamatan Karangploso ini dalam hal ini mengingatkan tentang diskusi wacana keislaman yang berkembang di Indonesia sejak tahun 1970-an sampai dengan 1990-an.


"Kita melihat, kalangan intelektual muslim di UIN dan IAIN dulu seperti Nurcholis Madjid, Gus Dur, dan sebagainya sudah mendiskusikan masalah-masalah besar," katanya saat ditemui NU Online di kediamannya.


"Mereka sudah membincangkan bagaimana membentuk masyarakat madani, pribumisasi Islam, dan semacamnya. Bukan lagi masalah-masalah bid'ah. Ini sudah selesai sudah lama," tambahnya.


Ustadz yang juga alumni Pascasarjana Universitas Islam Malang (Unisma) ini menyayangkan bahwa agama dalam perkembangan pascareformasi ini semakin dibawa ke dalam perdebatan emosional dan bukan masalah intelektual. Dampaknya, agama menjadi identik dengan emosi dan kemarahan.


"Sayangnya sekarang ini agama dibawa ke dalam ranah emosional. Jadi agama identik dengan pelampiasan emosi saja," kata pria yang juga aktif di kepengurusan GP Ansor ini.


Menurutnya, di pesantren memang berkembang juga tradisi debat. Tapi, diskusi masih dalam ranah intelektual. Adu pendapat boleh sengit, tapi argumentasi tetap harus dikedepankan dan setelahnya peserta diskusi akur kembali. 


"Maka, tugas kita sebagai orang pesantren harus meningkatkan kedewasaan masyarakat dalam beragama," pungkasnya.


Kontributor: R. Ahmad Nur Kholis
Editor: Mahbib