Blitar, NU Online
Pengurus Cabang Lembaga Kajian dan Pemberdayaan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU Kabupaten Blitar kembali menyelenggarakan Kajian Islam Nusantara bersama Kiai Farhan dengan Gus Arda Billy dengan mengusung tema Islam Nusantara, Harga Mati, Senin (30/7).
Diskusi Islam Nusantara dimulai pada pukul 20.00 WIB dengan Kiai Farhan sebagai pembicara pertama mengkaji Islam Nusantara dari sudut pandang historis, di mana dalam salah satu pernyataannya bahwa Islam Nusantara diresmikan pada saat Muktamar NU yang ke-33 di Jombang pada tahun 2015.Â
"Tentu saja hal ini menjadi salah satu embrio munculnya paradigma bahwa Islam Nusantara adalah produk dari golongan nahdliyin," ujarnya.Â
Tidak hanya itu, Ia juga berpendapat mengenai tema kali ini, hematnya tema kali ini mirip dengan salah satu prinsip Indonesia yakni NKRI Harga Mati.Â
"Saya lebih sepakat menggunakan istilah Fiqh Nusantara dibandingkan dengan Islam Nusantara. Karena semuanya diawali oleh persoalan madzhab yang sarat kaitannya dengan persoalan Fiqh. Kalau dipikirkan lagi, NKRI sebenarnya bukan harga mati, akan tetapi yang harga mati adalah maqasidnya," papar Kiai Farhan.Â
Dikatakan, kenapa kemudian NKRI dipateni (ditetapkan.red), karena mempertimbangkan jalbul mashalih (menegakkan kemaslahatan) dan darkul mafasid (meninggalkan keburukan).Â
"Islam Nusantara merupakan tawaran dari bentuk Fiqh dakwah. Karena itu, Islam menjadi tawasuth dalam artian menyesuaikan dengan situasi dan kondisi," tegasnya. Â
Beredarnya isu-isu yang kurang enak didengar di media sosial tentang Islam Nusantara mendorong Kiai Farhan banyak berharap kepada peserta agar pintar-pintar dalam memfilter kabar yang beredar. Termasuk dalam kajian kali ini, beliau berharap agar sebelum file di-upload seyogianya di-edit terlebih dahulu dengan baik dan benar.Â
Dalam akhir paparan, Kiai Farhan menyatakan tentang pentingnya memunculkan Islam Nusantara dari sisi dakwah, di satu sisi sebagai jawaban dari pernyataan demokrasi adalah syirik akbar. Dari itu, Islam Nusantara menuju ke tawasuth dan menantang statemen tersebut. (Imam Kusnin Ahmad/Muiz)