Daerah

Pancasila Harus Diperjuangkan Pemimpin Masa Depan

Rab, 30 Mei 2018 | 10:30 WIB

Pontianak, NU Online
Sejumlah kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di kawasan Pontianak mengikuti Ngaji Pancasila. Pemateri adalah dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Kalimantan Barat, dan dilangsungkan di kantor setempat, Rabu (29/5). 

Ismail Ruslan mengemukakan dalam segudang persoalan negara yang mengatasnamakan agama dan etnis tertentu bukanlah cerminan dari cita-cita Pancasila yang sudah menjadi landasan kuat pemersatu bangsa. “Indonesia itu agama dan etnis. Sehingga keberagaman tak perlu lagi dipertentangkan,” katanya di hadapan peserta. 

Menurutnya, ada dua hal bagi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Pertama adalah kalimatun sawa atau titik temu dimana Indonesia berdiri atas kepentingan dan ideologi yang sama dari berbagai perbedaan,” jelasnya. 

Sedangkan yang kedua yakni mitsaqan ghalidza atau kesepakatan kuat. “Sebagaimana maksudnya bahwa Indonesia bukanlah negara agama, tetapi berdasarkan agama,” paparnya. 

Kendati demikian, kesaktian dan keindahan Pancasila tidak selaras dengan kenyataan keseharian masyarakat bawah dalam hal persoalan keadilan sosial.

“Menjunjung tinggi tujuan pertumbuhan ekonomi negara tak mestinya melupakan pemerataan ekonomi,” urainya. Narasi keadilan sosial belum sejalan dengan praktik dalam masyarakat menengah ke bawah, lanjutnya. 

Baginya, bukan hanya warga negara yang mengkaji kembali butir Pancasila. “Tetapi yang akan memimpin warga negara pun mestinya mewujudkan cita-cita leluhur yang telah merumuskan Pancasila yang begitu apik,” katanya.

Dirinya memberikan ilustrasi dan perbandingan ketika melirik ke sejumlah negara yang memiliki satu agama dan mazhab yang sama. Sejumlah negara tersebut justru masih bergejolak dalam masalah perbedaan dan tujuan. 

Lantas mengapa Indonesia tetap eksis dalam keberagaman? “Justru keberagaman itu sendiri yang menjadi alasan berdirinya NKRI. Atas ideologi dan tujuan yang sama dalam harapan kesejahteraan bersama,” pungkasnya. (Red: Ibnu Nawawi)