Daerah

Nahdliyin di Sumenep Ini Ahli Ukir Lambang NU

Jum, 26 Maret 2021 | 03:00 WIB

Nahdliyin di Sumenep Ini Ahli Ukir Lambang NU

Buna’ie dengan kreasi ukiran kayu lambang NU ukuran besar. (Foto: NU Online/Habib)

Sumenep, NU Online

Pintu rezeki setiap menusia memiliki jalannya masing-masing. Sebagian melalui profesi akademik, sebagian lainnya dengan melakukan usaha di berbagai bidang. Seperti yang terjadi pada masyarakat Desa Karduluk, Sumenep, Jawa Timur, yang mayoritas penduduknya memiliki usaha mebel dan ukiran kayu.

 

Di desa yang dikenal dengan kota ukir ini, Buna’ie menghabiskan hari-harinya dengan menekuni usaha ukiran lambang Nahdlatul Ulama (NU) dari kayu. Usaha tersebut digeluti sejak 2015, dengan tempat produksi di rumahnya sendiri, Dusun Somangkaan, Desa Karduluk, Pragaan, Sumenep.

 

“Usaha membuat ukiran lambang NU dari kayu tersebut saya mulai pada tahun 2015. Tapi untuk usaha mebel sendiri malah sejak tahun 2000 silam,” ungkapnya kepada NU Online, beberapa waktu berselang.

 

Anggota Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU) Karduluk ini menceritakan, dirinya mulai mengukir lambang NU di kayu berawal dari permintaan pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU)  Pragaan. Mereka merencanakan ukiran lambang NU tersebut akan diletakkan di kantor setempat. Pada masa itu, dirinya mengaku sudah aktif berkhidmat di NU.

 

“Permintaan pesanan tersebut saya terima saja. Toh, meskipun sebelumnya belum pernah melakukannya. Karena memang baru pertama kali, ya hasilnya biasa-biasa saja. Belum seperti sekarang,” kenangnya.

 

Sejak saat itulah pesanan ukiran lambang NU datang silih berganti, baik dari kalangan struktural NU ataupun birokrasi yang memiliki latar belakang NU. Bahkan, saat ini ia menerima pesanan membuat ukiran lambang NU dengan ukuran cukup besar dari Achmad Fauzi, Bupati Sumenep.

 

“Pesanan bupati tersebut berukuran panjang 2,5 meter dan lebar 1,5 meter. Rencananya lambang NU tersebut akan diletakkan di kediaman bupati yang baru, di daerah Kecamatan Batuan. Untuk ukuran besar seperti itu, saya target selesai dalam jangka waktu sebulan,” ungkapnya.

 

Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep tersebut menambahkan, bahwa telah banyak pejabat struktural NU yang memesan ukiran lambang NU kepada dirinya. Baik lambang NU tersebut untuk diletakkan di kantor NU atau pun di kediaman masing-masing.

 

“Baru-baru ini KH A Pandji Taufiq (Ketua PCNU Sumenep, red)memesan (ukiran lambang NU) kepada saya. Dulu juga pernah Fatayat NU Pamekasan juga pesan ke saya. Bahkan, ukiran lambang NU yang saat ini bertengger di kantor PCNU Sumenep merupakan hasil keringat saya. Intinya banyak ukiran lambang NU di daerah Sumenep dan Pamekasan merupakan karya saya,” imbuhnya.

 

Pada dasarnya, usaha mebel yang ditekuni Buna’ie tidak hanya menerima pesanan ukiran lambang NU, akan tetapi juga sama dengan usaha mebel lainnya yang juga membuat kursi, meja, lemari, dan lain sebagainya. Bahkan, banyak pula ukiran kaligrafi Arab yang dirinya buat, seperti surat al-Ikhlas, ayat kursi, dan lainnya.

 

“Meskipun sama dengan yang lain, untuk ukiran kaligrafi Arab dan lambang NU mayoritas pesan ke saya,” kata ayah dua anak ini.

 

Ia pun mengaku, khusus untuk ukiran lambang NU, banyak pesanan kepada mebel lain yang justru dialihkan ke dirinya. Sebab, dalam mengukir lambang NU dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan. Selain itu, agar hasil maksimal diperlukan kayu dengan kualitas yang bagus dan pewarnaan yang bervariasi.

 

“Dalam mengukir lambang NU itu tidak asal buat. Perlu juga sabar dan telaten. Jika tidak demikian, kelihatannya kurang bagus dan kurang sreg di mata. Untuk punya saya ini ketebalan kayunya mencapai enam senti meter, makanya ukirannya jadi terlihat hidup,” ucapnya.

 

Buna’ie menyebutkan, bahwa proses pengerjaan ukiran lambang NU dengan kayu tersebut bukanlah hal yang cukup sulit. Mengingat, hal tersebut sudah ditekuni sejak lama dengan berlatih secara terus menerus. Utamanya dalam pembuatan kaligrafi Arab dan berbagai macam souvenir lain.

 

“Ini merupakan bagian dari dakwah, melalui ukiran lambang NU,” ujar pemilik Usaha Dagang (UD) Mebel As-Salam ini.

 

Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPP NU) MWCNU Pragaan ini juga bercerita, selain daerah Sumenep, pemesan juga datang dari luar Madura. Disebutkan pula, bahwa selain dipasarkan secara offline, usahanya ini juga dipasarkan secara online di media sosial. Seperti halnya di WhatsApp, Facebook, dan Instagram.

 

“Mayoritas pemesan di Facebook dan WhatsApp. Untuk Instagram jarang sekali, bahkan nyaris tidak ada,” jelas pria berumur 53 tahun ini.

 

Saat ini, Buna’ie mempekerjakan empat orang karyawan untuk membantu dirinya dalam usaha mebel tersebut. Omzet kotor yang ia terima antara 20 hingga 25 juta setiap bulannya. Namun, di masa pandemi ini menurun nyaris hingga 50 persen.

 

“Di masa pandemi ini, penghasilan saya menurun. Saat ini berada di kisaran 10 hingga 15 juta omzet kotor per bulan. Namun, alhamdulillah hal ini tidak membuat saya gulung tikar dan tetap bisa membuat dapur tetap mengepul,” ungkapnya penuh syukur.

 

Hadiah kepada Rais ‘Aam PBNU

Kecintaan Buna’ie kepada organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh KH M Hasyim Asy’ari ini memang tidak perlu diragukan lagi. Terbukti, pada awal Maret kemarin, dirinya menghadiahkan ukiran lambang NU hasil peluh keringatnya kepada Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Miftachul Akhyar.

 

Pemberian hadiah kepada Pengasuh Pondok Pesantren Miftachussunnah Surabaya ini dilakukan saat Romo Miftah, begitu ia akrab disapa, menghadiri resepsi Harlah ke-98 NU dan pelantikan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep tempo hari.

 

Pria yang juga menjabat sebagai pengurus Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPP NU) PCNU Sumenep ini mengatakan, bahwa pemberian ukiran lambang NU berukuran 70x50 sentimeter tersebut merupakan sebagai wujud kecintaannya kepada masyaikh NU. Dengan harapan agar semangat pengabdiannya terhadap NU tetap terbangun dengan kuat.

 

“Semoga pemberian tersebut dapat bermanfaat dan amal saya dapat diterima oleh Allah SWT,” pungkasnya.

 

Penulis: A. Habiburrahman
​​​​​​​Editor: Ibnu Nawawi