Daerah

Muslimat NU Sumbar Ajak Keluarga Cegah Gerakan Radikal

NU Online  ·  Kamis, 24 Mei 2018 | 10:00 WIB

Muslimat NU Sumbar Ajak Keluarga Cegah Gerakan Radikal

Ketua PW Muslimat NU Sumbar, Riska Eka Putri

Padang, NU Online
Keluarga harusnya menjadi benteng utama dalam menangkal gerakan radikalisme di masyarakat. Namun, peristiwa pemboman yang dilakukan terduga teroris belakangan ini menunjukkan keluarga sudah dijadikan tempat menumbuhkan pemikiran dan gerakan radikalisme.

Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muslimat NU Sumatera Barat Riska Eka Putri mengungkapkan hal itu kepada NU Online, Kamis (24/5/2018), menanggapi munculnya pelaku bom bunuh diri yang dilakukan sekeluarga. Menurut Riska, keluarga seharusnya jadi benteng utama dalam menangkal pemikiran dan gerakan radikal tersebut.

Adanya tren ibu rumah tangga yang terlibat langsung dalam gerakan radikal patut menjadi perhatian kalangan perempuan. Apalagi ibu kandung yang melibatkan anak-anak, sungguh memprihatinkan. 

Mudah-mudahan ke depan tidak lagi terdengar kaum ibu yang melibatkan anak-anaknya sebagai pelaku bom bunuh diri atau gerakan radikal, kata Riska, alumni Magister Sain  Kosentrasi Ilmu Kelautan IPB ini.

Dikatakan Riska, Muslimat NU Sumbar terus mendorong agar dilakukan pemberdayaan kemampuan rohani keluarga dengan pemahaman yang benar untuk membentengi masuknya radikalisme di tingkat keluarga. 

"Peningkatan pemahaman anti radikalisme harus terus dilakukan melalui majelis taklim, pengajian maupun pesantren ramadhan. Khusus pelaksanaan pesantren Ramadan sudah bagus. Hanya saja muatan gerakan anti radikalisme juga diberikan. Sehingga pesertanya memahami dan menjauhkan tindakan radikal," kata Riska.

Pesantren Ramadhan bagi siswa tingkat SD hingga SLTA, merupakan salah satu upaya mencegah paham radikalisme berkembang di kalangan generasi muda. Beruntung di Sumatera Barat sudah dilaksanakan sejak beberapa tahun lalu oleh pemerintah daerah. Walaupun  pelaksanaan pesantren ramadhan di sekolah tingkat SLTA, perlu ditinjau-ulang.

Sebaiknya, pesantren ramadhan tersebut dikembalikan ke masjid/mushalla yang ada  di lingkungan siswa bersangkutan. Jika di masjid/mushalla, siswa bergaul dan berinteraksi dengan lingkungannya. 

Selain itu, mereka bergabung dengan  siswa yang berasal dari sekolah berbeda. Sedangkan di sekolah, mereka hanya terpaku di lingkungan yang sama dengan suasana belajar biasa. Sehingga mudah disusupi paham radikal oleh pihak tertentu.

"Kalaupun ada kelemahan pelaksanaan masjid/musalla, silakan keluarkan aturan sendiri. Baik kurikulum, kompetensi standar ustadz/penceramah maupun penyelenggara dari masing-masing masjid/mushalla. Selain itu, di masjid dan mushalla, mereka dekat dengan keluarga maupun kerabat dari siswa yang bersangkutan," pungkas Rizka.(Armaidi Tanjung/Muiz