Daerah

Menikmati Irama Dzikir Peziarah

NU Online  ·  Sabtu, 25 Mei 2013 | 20:30 WIB

Setiap hari Jum’at-Ahad atau hari libur tanggal merah, suasana makam wali selalu dipenuhi oleh para peziarah dari penjuru kota di Indonesia. Bahkan bila datang bersamaan, tempat makam wali-wali itu hampir tidak muat menampung peziarah yang berombongan.<> 

Begitu pula halnya makam Syech Ja’far Shodiq (Sunan Kudus) dan Raden Umar Said (Sunan Muria) selalu penuh sesak hingga harus ada yang menunggu di luar area makam. Suasana demikian tampak saat NU Online berziarah ke makam Sunaan Kudus, Jum’at malam (24/5).

Ketika NU Online baru masuk, ruangan makam sudah dipenuhi para peziarah. Dilihat dari logat bahasanya , mereka berasal dari beberapa daerah diantaranya Tasik, Pekalongan dan daerah Jawa timuran.

Tanpa menggunakan pengeras suara, mereka (peziarah) membaca  tahlilan, ada yang membaca Yasin dan berdo’a bersama dengan nada suara keras. Bagi yang rombongan, tahlilan dilakukan berjamaah dengan dipimpin seorang imam /kyai.

Saat Tahlilan sudah mulai berdzikir, terasa keindahan irama masing-masing rombongan yang  duduknya bersebelahan di ruangan makam Sunan Kudus.  Dzikir yang dilafadzkan intonasi iramanya berbeda-beda yang dibarengi kekhusukan geleng kepala kekanan dan kekiri.

Disatu  rombongan melafadzkan dengan intonasi ditekan dan putus putus seperti "Laa..ilaaha illallah", begitu pula rombongan lainnya bernada datar menggunakan irama seperti nyanyian. Yang jelas, dari beberapa rombongan yang dalam satu ruangan makam itu sangat berbeda-beda.

Mendengar irama dzikir demikian, NU Online jadi teringat mauidhah hasanah Rois Am jamiyah Thariqoh al Mu’tabarah An nahdliyyah (Jatman) Habib Lutfiy bin Yahya. Dalam berbagai pengajian, Habib asal pekalongan ini selalu menegaskan suasana makam walisongo merupakan cermin keindahan dari keberagamaan dan perbedaan ummat.

“Meski satu duduk bersebelahan dalam satu ruangangan  dengan  melafadzkan kalimat yang sama (dzikir) namun  iramanya berbeda,  tidak terjadi gesekan dan pergunjingan padahal mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda pula. Inilah pelajaran yang berharga  dari indahnya kehidupan berbangsa dan beragama,”kata Habib Lutfiy suatu ketika dalam acara pengajain umum di Kudus.

Disamping itu, Walisongo ini memang mampu membawa keberkahan  segala aspek kehidupan mulai ekonomi, persaudaran dan kebersamaan. “Walisongo atau ulama yang sudah wafat memberkahi yang orang yang hidup,” tambah Habib singkat.

Dari apa yang disampaikan Habib ini memang benar. Bukan saja keberkahannya dalam berziarah tetapi dari irama dzikir para peziarah di makam sudah terasa keindahannya. Ketika kita di ruangan makam, terasa ada ketenangan dan keindahan meski penuh kebisingan irama dzikir para peziarah. (Qomarul Adib)