Daerah

Mengaji Kitab Kuning, Mempertahankan Eksistensi Pesantren

Sab, 13 Juli 2013 | 06:39 WIB

Kediri, NU Online
Kitab kuning identik dengan pesantren. Di Indonesia, kitab kuning digunakan sebagai buku wajib di pondok yang juga disebut kitab salaf, yang artinya klasik atau kuno.
<>
Mengaji kitab kuning sudah menjadi aktivitas sehari-hari yang dilakukan para santri. Bukan hanya di bulan-bulan biasa, juga di bulan Ramadhan seperti saat ini. Libur panjang yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam aktivitas, dimanfaatkan untuk "ngaji kilatan". Disebut ngaji kilatan, kerena kegiatan ini berlangsung hanya Ramadhan, dan pengkajian kitab pun dikebut.

Sampai saat ini memang belum ada kajian khusus tentang asal kitab kuning. Kitab yang identik dengan kitab gundul (karena memang tidak ada harakatnya) ini sudah ada sejak dulu. Dan, di Indonesia, kitab ini menjadi acuan dalam kegiatan pengajian di pondok-pondok salaf.

Kitab kuning tidak dapat dipelajari dalam waktu instan. Karena kitab ini tidak ada harakatnya, membuat pendalaman kitab berlangsung dalam rentang yang cukup lama, sampai bertahun-tahun.

Para santri harus memahami isi kitab kuning, dengan belajar Tata Bahasa Arab, seperti Ilmu Nahwu, Ilmu Shorrof, sampai Ilmu Mantiq, dan sejumlah cabang ilmu lainnya. Ilmu itu masih dasar, dan harus didalami dengan mengikuti kajian kitab yang dipimpin oleh pengasuh ataupun santri senior lainnya.

Metode pengajian di pondok biasanya berlangsung dengan cara tatap muka. Pengasuh ataupun santri senior membacakan naskah bahasa arab lengkap dengan artinya sesuai dengan bahasa di pondok itu berada.

Para santri lalu memanfaatkan alat tulis dengan ujung pena kecil menuliskan makna yang telah diajarkan oleh pengasuh ataupun santri senior yang membacakan kitab saat itu. Dulu, para santri memanfaatkan alat tulis dengan mata pena yang dicelupkan pada tinta China yang diberi pelepah daun pisang agar meresap, tapi karena dianggap sudah tidak efisien, akhirnya para santri memilih memanfaatkan bolpoin dengan mata pena lebih kecil, yang biasanya banyak dimanfaatkan oleh para arsitektur.

Di Kediri, terdapat sebuah pondok pesantren yang pengasuhnya menggunakan metode baru untuk mempelajari kitab. Adalah di Pondok Pesantren dan Madrasah Spesial Fiqih "Hidayatut Thullab" di Dusun Petuk, Desa Pohrubuh, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Pondok ini didirikan oleh KH Ahmad Yasin Asymuni. Beliau memberikan gagasan untuk memberikan makna bahasa Jawa dari kitab-kitab yang dipelajari para santri. Tujuannya, tak lain untuk memudahkan para santri memahami kitab dan mempercepat proses belajar.

KH Ahmad Yasin Asymuni merupakan salah satu pengasuh pondok pesantren yang cukup aktif menghasilkan karya. Selain sebagai salah seorang pencetus dan yang memprakarsai penerbitan kitab dengan makna Bahasa Jawa tersebut, beliau juga cukup produktif.

Sejumlah penghargaan diberikan kepadanya. Atas usahanya memprakarsai penerbitan kitab dengan makna Bahasa Jawa, pada 2004 beliau didatangi oleh para orientalis dari Chicago, AS dan memberinya gelar sebagai profesor. Ia juga mendapatkan penghargaan dari Kementerian Agama atas jasanya dalam bidang keilmuan/akademik sebagai penulis produktif dalam kajian kitab di pesantren pada 2 Januari 2011 lalu.

Kitab bermakna di pondok ini populer dengan sebutan "Kitab Bima'na Pethuk". Seluruh penanganan kitab ini seperti pencetakan dan pendistribusian dikelola oleh koperasi pondok dan didistribusikan ke seluruh pesantren di Indonesia.

Bukan hanya itu, beberapa di antaranya juga didistribusikan ke luar negeri, seperti ke Malaysia, Mesir, dan sejumlah negara lainnnya. Sejak 1993 sampai sekarang, ada 188 kitab yang dipublikasikan. Mayoritas kitab-kitab ini dilengkapi dengan makna berbahasa Jawa.

Pengasuh memimpin sendiri pemaknaan kitab kuning itu. Ia dibantu oleh santri yang tulisannya bagus dan bertugas mencatat semua uraiannya di samping naskah utama. Catatan pinggir itu kemudian diselaraskan lagi dengan isi kitab, agar tidak terjadi kesalahan pemaknaan.

Pengasuh berharap dengan pemaknaan itu, akan memudahkan para santri untuk belajar. Dengan kitab yang sudah diberi makna, para santri bisa lebih cepat belajar dan bisa segera mempelajari kitab lainnya, sehingga ilmu yang didapat juga lebih banyak.

"Mayoritas pengasuh sendiri yang memberikan makna, tapi masih dibantu dengan santrinya," kata Fuad Hasyim, pengurus di pondok itu.

Sebenarnya, upaya pemaknaan kitab kuning di pondok tersebut telah dimulai sejak pertengahan 1990. Saat ini, sudah terdapat 188 kitab yang dihasilkan oleh pengasuh dan mayoritas dilengkapi dengan makna Bahasa Jawa. Seluruh kitab itu dicetak dan didistribusikan ke seluruh pesantren di Indonesia lewat koperasi pondok.

Satu kitab, rata-rata dicetak sampai 25 ribu eksemplar. Tiap tahun rata-rata pengasuh membuat 10 judul kitab baru. Khusus untuk Ramadhan, permintaan kitab yang terbanyak adalah "nukilan". Kitab ini dibuat oleh pengasuh sendiri, yang diambil dari berbagai macam kitab ditulis ulang oleh beliau.

Sementara itu, para santri di pondok ini bukan hanya berasal dari wilayah Kediri saja. Banyak para santri berasal dari luar Jawa Timur, seperti dari Sumatera, Kalimantan, dan sejumlah daerah lain di Indonesia.

Kurikulum di pondok ini juga berbeda dengan kurikulum di pesantren pada umumnya, yaitu lebih singkat dan padat. Khusus di tingkat aliyah yang lebih konsetrasi pada ilmu fikih atau "takhassush fiqh".

Di pondok ini, selain bisa mempelajari ilmu agama secara mendalam dan matang dengan kuriklum tinggi, para santri juga bisa mendapatkan ijazah formal (SMP/SMA) melalui wajar Dikdas sembilan tahun dan kejar paket. Ijazah di pondok ini juga bisa dimanfaatkan untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi agama di seluruh Indonesia.

Belajar Mandiri

Para santri di pondok ini selain belajar agama juga diberi keterampilan sebagai bekal mereka di masa depan. Beragam program diberikan sebagai upaya belajar mandiri, misalnya untuk santri putri diberi keterampilan menjahit, sedangkan santri putra diberi keterampilan belajar elektronik, otomotif, pertanian, maupun peternakan.

Pengurus pondok Fuad Hasyim mengatakan untuk program peternakan, ada sekitar tiga kolam yang sudah dimiliki. Satu di antara kolam itu ukurannya cukup besar mampu menampung ikan sampai 30 ribu ekor.

"Kolammnya diisi ikan manggasius dan sudah panen kemarin. Saat ini belum diisi kembali," tuturnya.

Ia mengatakan, para santri memang dilibatkan untuk mengurus beberapa unit usaha dari pondok, tapi tidak semua santri. Hal itu dilakukan, agar para santri konsentrasi belajar.

Selain mandiri dengan diberi bekal keterampilan, para santri juga dilatih mandiri menjadi seorang pendakwah. Pondok memberikan program istigasah dan dialog interaktif. Pengasuh pondok, KH Ahmad Yasin Asymuni menjadi tokoh sentral istighotsah dan dialog interaktif Hidayatut Thullah (IDI-HIT).

Abidin, pengurus pondok lainnya mengatakan terdapat kegiatan dakwah yang dilakukan di dalam pesantren dilakukan setiap dua pekan sekali, lalu kegiatan IDI-HIT setiap satu bulan sekali, merupakan kegiatan di luar pondok dilakukan berpindah-pindah, serta istigasah Hidayatut Thullab (IS-HIT) yang merupakan lokasi silaturahmi alumni pondok.

"Pengasuh merupakan tokoh sentral kegiatan itu, tapi biasanya santri yang diserahi tanggung jawab," tukasnya.

Ia merasa dengan program itu, ilmu yang selama ini dipelajari di pondok lebih mengena. Selama ini, mereka belajar, diskusi tentang ilmu mereka, tapi hanya di lingkungan pondok. Dengan terjun ke masyarakat langsung, ilmu mereka menjadi lebih bermanfaat.

Di pondok ini memang terkenal dengan salaf. Namun, saat ini pondok sudah mulai membuka pondok khusus anak untuk putra dan putri tepatnya pada 2010 lalu dengan program pendidikan SD-plus, yaitu sekolah dasar plus diniyah dengan kegiatan ekstra seperti belajar membaca kitab suci Al Quran dan mengaji.

Para santri di pondok anak juga berasal dari berbagai macam deerah di Jatim. Ada sekitar 50 santri anak yang sudah tinggal di tempat itu, dan mereka dibimbing oleh sekitar sembilan ustaz yang juga santri di pondok. 

Walaupun membuka untuk program pendidikan SD-plus, Abidin meyakinkan eksistensi pondok pesantren akan tetap terjaga. Bukan hanya mempertahankan kitab kuning sebagai buku wajib di pondok, juga mengajarkan ilmu agama, memperbaiki akhlak, serta mengajarkan tata cara beribadah yang sesuai tuntunan agama.


Redaktur: Mukafi Niam
Sumber  : Antara