Daerah

Membuktikan Keakraban Goethe dengan Islam

Sen, 24 September 2018 | 14:15 WIB

Tangerang Selatan, NU Online
Berthold Damshauser menyebut Johan Wolfgang von Goethe memiliki kedekatan yang begitu akrab dengan Islam, baik secara teologis, maupun filosofis.

"Goethe lebih dekat dengan Islam daripada Nasrani. Itu sebuah fakta yang tidak bisa dibantah," katanya saat mengisi diskusi buku Telah Berpilin Timur dan Barat, antologi puisi Goethe yang diterjemahkannya bersama Agus R Sarjono.

Kegiatan digelar di Ruang Teater Lantai 1, Gedung Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Senin (24/9).

Lebih lanjut, Berthold menjelaskan bahwa sastrawan yang pernah menjadi menteri Jerman itu juga menolak trinitas Kristen. "Ia tidak menganggap Nabi Isa sebagai Tuhan," jelas pengajar Universitas Bonn, Jerman itu.

Islam yang dikenal oleh Goethe, bukanlah Islam lahiriah ataupun dogmatis, kata Berthold, melainkan Islam yang lebih dalam, yakni Islam sufistik. Sebab, sejak mudanya, ia sudah akrab dengan puisi-puisi Rumi melalui buku-buku yang dimiliki ayahnya.

Ia juga dikenalkan dengan dunia Timur melalui karya-karya sastrawan Timur oleh gurunya. "Itu patut kamu baca," kata gurunya kepada Goethe. Padahal saat itu, menurut Berthold, hampir tidak ada orang Islam di Eropa. "Ketika itu belum ada satu masjid pun di Jerman," ceritanya.

Pertemuan Goethe dengan orang Islam hanya sekali saat pasukan Napoleon berada dekat tempat tinggalnya. Saat itu, katanya, Goethe melihat mereka shalat. "Di dekat rumahnya, ia lihat pasukan Napoleon shalat," ujar akademisi yang pernah menjadi Presidential Friend of Indonesia itu.

Sastrawan yang menghabiskan banyak waktunya untuk penelitian ilmiah itu juga sangat menghormati Nabi Muhammad. Hal ini tertuang dalam puisinya berjudul Sabda Sang Nabi.

"Jika ada yang murka karena Tuhan berkenan // Berkati Muhammad kebahagiaan dan lindungan, // Sebaiknya dia pasang tambang kasar // Pada tiang rumahnya yang terbesar. // Biar ikatkan diri di sana! Tali cukup kukuh. // Akan ia rasakan murkanya meluruh," tulisnya.

Bahkan, saking merasa dekatnya dengan Islam, ia, menurut Berthold, menganggap dirinya bersaudara dengan para sufi. Lebih dari itu, ia menulis satu bait khusus tentang makna Islam.

"Alangkah pandir menganggap diri istimewa // Mengira keyakinan sendiri benar belaka // Bila makna Islam pada Tuhan berserah diri, // Maka dalam Islam, semua kita hidup dan mati," tulis Goethe dalam Kitab Hikmah.

Sementara itu, Adib Misbahul Islam menyebut Goethe sebagai orang yang paham akan dinamika Islam. "Goethe memahami betul dinamika Islam," terang Sekretaris Jurusan Program Magister Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Adib merasakan keluasan pengetahuan Goethe mengenai Al-Qur'an, hadis, dan dinamika intelektual dan teolog Islam, dalam puisi-puisinya. Meskipun demikian, Agus R Sarjono mengungkapkan bahwa kita tidak perlu berdebat tentang keislaman Goethe. Ia dicap kafir oleh gereja di Jerman. Di samping itu, ia juga diakui oleh sekelompok orang sebagai Muslim.

"Gak penting itu Islam atau tidak," tegasnya. Hal terpenting, menurut pengajar Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung itu, adalah mempelajari karya-karyanya.

Kita, katanya, mengenal dan mengakui Nabi Muhammad saw. Tetapi, tak pernah membaca Al-Qur'an dan Hadis. Hal demikian, menurutnya, percuma.
Diskusi yang digelar oleh Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga dihadiri oleh atase Pers dan Budaya Kedutaan Jerman. (Syakir NF/Ibnu Nawawi)