Mbah Siddiq ‘Tolak’ Emas Batangan, Mohon Anak yang Baik
NU Online · Jumat, 28 Juni 2019 | 07:00 WIB
Jember, NU Online
Tidak banyak yang tahu apa hubungan antara KH Muhammad Siddiq dan KH Ahmad Siddiq. Bahkan boleh jadi banyak yang mengira bahwa keduanya bersaudara alias kakak-beradik. Padahal bukan. Yang benar adalah KH Ahmad Siddiq adalah putera dari KH Muhammad Siddiq.
“Hubungan keduanya adalah ayah dan anak,” tukas salah seorang cicit KH Muhammad Siddiq, Gus Ahmad Gholban Aunirrahman kepada NU Online di kediamannya, kompleks Pesantren Zainab Siddiq, Talangsari, Jember Jawa Timur, Kamis (27/6).
Gus Gholban memaparkan, KH Muhammad Siddiq lahir di Lasem Jawa Tengah. Semasa mudanya, beliau pernah berguru ke sejumlah ulama Nusantara, misalnya Syekh Kholil Bangkalan. Tidak cukup di tanah air, beliau ‘terbang’ ke negara Timur Tengah untuk memperdalam ilmunya. Diantara gurunya adalah Syekh Syhatha, pengarang kitab i'anatut tholibin, hingga beliau meriwayatkan hadits Nabi dari Syekh Syhatha, dan ditulis oleh Syekh Yasin al-Fadani dalam kitab al-arbaun al-buldaniyah.
Setelah dirasa cukup belajar, KH Muhammad Siddiq mendirikan Pesantren di Lasem, dan mempersunting Nyai Masmunah sebagai istrinya. Dari penikahan tersebut, Mbah Siddiq, demikian ia kemudian biasa dipanggil, memiliki beberapa anak.
“Keturunan beliau akhirnya menjadi ulama dengan kekhasannya tersendiri,” lanjut Gus Gholan.
Mereka adalah, (1). Kiai Manshur, yang memiliki putera bernama Kiai Ali Manshur, sang pencipta shalawat Badar, (2). Nyai Raihanah, ibu dari KH Abdul Hamid Pasuruan. Sosok yang satu ini sangat terkenal karena kewaliannya, (3). KH Ahmad Qushairi, pendiri Pesantren Assiddiqi Banyuwangi. Ia memiliki puteri bernama Nyai Nafisah, yang kemudian bersuamikan KH Abdul Hamid Pasuruan, (4). KH Mahmud, memiliki putera Kiai Hamid Wijaya, Ketua Ansor pertama Indonesia (PP GP Ansor).
Selain itu, KH Mahmud juga mempunyai seorang putera bernama KH Shodiq Mahmud, pendiri dan ketua pertama IAIN Jember.
“KH Hamid, itu nama aslinya. Namun ditambahkan nama Wijaya di belakangnya untuk tabarrukan dengan Joko Tingkir yan bernama asli Sultan Hadi wijaya,” terang Gus Gholban.
Gus Gholban menambahkan, suatu malam Mbah Siddiq bermimpi melihat Rasulullah. Tampak tangan kanan Rasulullah memegang tasbih menghadap ke timur. Sedangkan tangan kirinya memegang bakul nasi, menghadap ke barat. Mbah Siddiq mengartikan, kalau ingin akhirat pergilah ke timur, jika ingin dunia pergilah ke barat. Maka dari mimpi itu Mbah Siddiq memilih pergi ke timur hingga berhenti di kota Jember.
“Di kota ini beliau mendirikan Pesantren As-Siddiqi Putera (ASTRA). Di kota Jember ini pula beliau menikah dengan seorang perempuan yang bernama Nyai Maryam dan menghasilkan 5 putera-puteri,” terangnya.
Mereka adalah, (1). KH Mahfud Siddiq, Ketua PBNU zaman jepang yang dipenjara bersama KH Hasyim Asyari. Sekeluar dari penjara, beliau sakit-sakitan karena siksaan jepang hingga meninggal sebelum berumur 40 tahun. Posisinya di PBNU digantikan oleh KH Wahid Hasyim, (2). KH Abdul Halim, pendiri Pesantren As-Siddiqi Puteri, (3). Nyai Zainab Siddiq, pendiri Pesantren Puteri Nyai Zainab Siddiq, (4). KH Abdullah, Ketua PWNU Jawa Timur, dan (5). KH Ahmad Siddiq, Rais 'Aam PBNU. Rais ‘Aam yang menerima dan memperjuangkan Pancasila sebagai ideologi Negara.
Selain itu, Mbah Siddiq menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Nyai Mardhiyah dan memiliki puteri, Nyai Zulaikhoh, istri KH Dhafir Salam, sang pendiri Pesantren Al-Fattah, Talangsari. KH Dhafir Salam pernah menjadi Rais Syuriyah PCNU Jember, dan saat itu beliau mendirikan Universitas Islam Jember.
“Mengenang dan menulis beliau-beliau karena rasa rindu dan kangen saya kepada mereka. Mereka telah wafat, saya tidak pernah tahu wajahnya,” terang Gus Gholban.
Menurutnya, Mbah Siddiq tidak tidak meninggalkan foto dirinya meski hanya selembar. Pernah beliau berfoto untuk paspor haji. Namun setelah itu, Mbah Siddiq membakar sendiri fotonya, dengan alasan tidak ingin dikenal dan dikenang orang. Beliau lebih memilih 'berdua' dengan Allah hingga akhir hayatnya.
Gus Gholban mengaku terenyuh dan rindu dengan sikap zuhud Mbah Siddiq. Katanya, suatu ketika beliau menimba air di sumur. Saat timba pelan-pelan ditarik ke atas, si timba tidak hanya berisi air tapi juga emas batangan. Namun Mbah Siddiq mengembalikan emas batangan itu ke dalam sumur, sambil berdoa Ya Allah, bukan emas yang saya inginkan, saya hanya berharap semoga saya memiliki putera-puteri yang baik ya Allah.
“Doa tersebut dikabulkan oleh Allah,” pungkasnya. (Aryudi AR)
Terpopuler
1
Keistimewaan Bulan Dzulhijjah dan Hari Spesial di Dalamnya
2
Amalan Penting di Permulaan Bulan Dzulhijjah, Mulai Perbanyak Dzikir hingga Puasa
3
Kelola NU Laksana Pemerintahan, PBNU Luncurkan Aplikasi Digdaya Kepengurusan
4
Tak Bisa Mengelak Lagi, Negara Wajib Biayai Pendidikan Dasar Termasuk di Swasta
5
Mengenal Aplikasi Digdaya Kepengurusan yang Diluncurkan PBNU
6
Prof Masud Said Ungkap Peran KH Tolchah Hasan dalam Pendidikan hingga Kebangsaan
Terkini
Lihat Semua