Brebes, NU Online
Pengasuh pondok pesantren modern Al-Falah Desa Jatirokeh, Kecamatan Songgom Brebes Jawa Tengah KH Nasrudin menilai bahwa Lebaran merupakan momentum rekonsiliasi dan perwujudan kesejahteraan umat.
Terpatahkannya konflik dan menjunjung tinggi kesejahteraan, ada ketika lebaran itu tiba. Akan tetapi, belum bisa terwujud karena kurangnya kesadaran dan pemaknaan dari lebaran itu sendiri.
Demikian disampaikan Kiai Nasrudin saat berbincang dengan NU Online di kediamannya kompleks pondok pesantren modern Al-Falah, Kamis (14/6).
Menurutnya, lebaran itu satu hal yang paling penting sebagai momen rekonsiliasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adanya saling beda pendapat tentang berbagai hal, adanya perselisihan harus diakhiri. Solusinya, dengan menggunakan momentum halal bihalal, bersilaturahmi.
Kiai Nasrudin menceritakan, ketika KH Wahab Chasbullah melihat di Badan Konstituante tahun 1955 terjadi deadlock, akibat para politisi nasional gagal membentuk undang undang baru, terjadilah konflik secara nasional. Perselisihan tersebut ditangkap oleh KH Wahab Chasbullah supaya diadakan halal bihalal untuk mengakhiri konflik tersebut.
“Nah, hasilnya adanya pengembalian ke UUD 1945 yang dikenal Dekrit Presiden 5 Juli 1959,” terang Kaji Nas, panggilan akrabnya.
Pada tataran selanjutnya, pemerintah mendorong supaya setiap instansi menyelenggarakan halal bihalal. Tokoh ulama juga mendorong untuk berhalal bihalal dengan cara pengajian dan sampai sekarang halal bi halal lestari, meskipun ada yang menganggap bid'ah karena pada jaman Rasulullah kegiatan keagamaan seperti halal bihalal tidak ada.
"Namun langkah halal bihalal adalah bid'ah hasanah, bid'ah yang menuju kebaikan. Bahkan dalam sebuah hadits, nabi menyarankan agar berbuatlah yang baik baik kalau kamu ingin berbahagia di dunia maupun di akherat," ujarnya.
Dengan halal bihalal, dari keluarga yang paling kecil, kelompok organisasi yang paling kecil, masyarakat yang paling kecil hingga Negara saling bersilaturahmi.
“Hakekatnya saling memaafkan, bukan karena baju, warna politik, dan lain sebagainya, berhalal bihalal, bersilaturahmi, berlebaran menjadi indah pada akhirnya,” tutur Kiai Nasrudin.
Momentum kedua, lanjut Kaji Nas, saat lebaran ada sesuatu yang harus dikembalikan yakni hak hak orang lain. Jangan dianggap ketika kita memiliki kelebihan harta, itu adalah milik sendiri, tapi sesungguhnya ada harta titipan dari Allah yang harus diberikan kepada para fakir dan miskin.
Kalau saja rakyat Indonesia yang memiliki harta lebih patuh membayar zakat sesuai dengan ketentuan zakat, Nasrudin menyakini ketika Lebaran tidak ada lagi anak kecil merengek rengek minta baju, minta uang jajan.
“Apa lacur, ternyata kesadaran berzakat bagi masyarakat Indonesia masih rendah sekali. Karena beranggapan, dengan berzakat hartanya akan berkurang. Padahal berjanji akan melipatgandakan harta yang dizakati,” tandasnya.
Mantan anggota DPR RI ini berharap, semoga momentum kesejahteraan umat di saat Lebaran bisa terwujud. Dibuktikan dengan bangkitnya si miskin pada hari raya Idhul Fitri menikmati kebahagian bersama karena terpenuhinya hak hak yang mereka harus miliki. (Wasdiun/Muiz)