Daerah

Langgar Kode Etik, Media Massa Tambah Derita Penyintas Pelecehan Seksual

Sen, 2 Januari 2017 | 17:02 WIB

Bandar Lampung, NU Online
Profesionalitas awak media massa terhadap permasalahan gender masih rendah. Masalah ini selanjutnya membuat sejumlah berita perihal tindak asusila sama sekali tidak berusaha membangun empati atas perlakuan tidak adil terhadap perempuan.

Demikian disampaikan kader Keluarga Mahasiwa Nahdlatul Ulama (KMNU) Unila Nadia Eva Zahara, di Bandar Lampung, Senin (2/2).

Menurutnya, para awak media masih belum bisa lepas dari tuntutan marketing sehingga berita yang disajikan justru tidak mampu mengungkap fakta yang terjadi melainkan hanya sekedar bermain diksi untuk menarik pembaca. Ia mendorong peningkatan peran perempuan di media massa sebagai jalan membangun keadilan gender.

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Unila itu menilai, framing media terhadap kasus pelecehan seksual terhadap perempuan acapkali tidak membangun empati pada korban asusila.

Nadia berpendapat, persoalan itu terjadi juga karena kurangnya peranan perempuan dalam media massa sehingga menjadikan masalah tersebut seperti benang kusut yang sulit dibenahi.

"Dominasi kaum Adam dalam dunia jurnalistik mungkin dapat dijadikan alasan mengapa seolah produk berita menjadikan perempuan sebagai objek menjanjikan. Media massa seharusnya mampu mengangkat status hukum perempuan dalam kasus-kasus pelecehan seksual dengan tidak meninggalkan kaidah-kaidah dasar jurnalistik dalam berita yang disajikannya," katanya.

Pegiat Gusdurian Lampung Gatot Arifianto mengatakan, Dewan Pers telah memberikan batasan-batasan jelas terhadap korban asusila. Sayangnya, beberapa berita masih saja menggunakan kata-kata cabul saat menggambarkan kronologi kejadian.

Namun berdasarkan riset terhadap pemberitaan korban asusila hingga menjelang akhir 2016 di Lampung dan sejumlah wilayah di Indonesia, imbuh Ketua PC GP Ansor Way Kanan itu, kata-kata cabul digambarkan melalui kronologi kejadian masih muncul.

"Lalu identitas korban yang seharusnya dirahasiakan justru dipublikasikan baik di media cetak atau online. Untuk media televisi, wajah korban memang diblur. Tetapi wajah orang tuanya ditampilkan. Hal itu jelas melanggar kode etik jurnalistik," kata Gatot yang bergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung.

Berkaitan dengan itu, ia mengajak media massa dan pewarta untuk mencermati kaidah jurnalistik terkait pemberitaan penyintas asusila.

“Nama kampung korban dirahasiakan tapi sekolah dan kelasnya ditulis jelas, itu sama saja bohong. Hal itu membuat korban asusila mengalami kekerasan ganda dan beruntun. Tulisan yang sudah terpublikasikan tidak akan hilang. Itu akan menjadi referensi dan membuat stigma terhadap korban asusila. Jangan biarkan korban tindak asusila kehilangan masa depan hanya karena beberapa paragraf berita yang tidak berdampak bagi kepentingan umum," ujar Ketua GP Ansor Way Kanan Gatot. (Syuhud Tsaqafi/Alhafiz K)