Daerah

Kronologi Awal PCNU Pekalongan Produksi Sarung Berlogo NU

Ahad, 21 Juni 2020 | 12:00 WIB

Kronologi Awal PCNU Pekalongan Produksi Sarung Berlogo NU

Sarung Ibad Aswaja produksi PCNU Kota Pekalongan berlogo NU. (Foto: NU Online/Abdul Muiz)

Pekalongan, NU Online

Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Pekalongan, Jawa Tengah H Muhtarom menjelaskan kronologi awal munculnya produksi sarung berlogo NU.


"Pada awal tahun 2015, PCNU Kota Pekalongan berkirim surat dan sowan ke PBNU untuk menyampaikan maksud dan mohon izin untuk memproduksi sarung, baju seragam, peci, dan uniform-uniform lain dengan menyertakan logo NU," ujar Muhtarom, Ahad (21/6) lewat keterangan tertulisnya.


Dia menerangkan, apa yang dilakukan PCNU Kota Pekalongan dengan memproduksi atribut berlogo NU berangkat dari keprihatinan ketika warga NU yang mayoritas di negeri ini hanya sebagai obyek ekonomi dari orang atau kelompok lain.


"Maka, PCNU Kota pekalongan mencoba menawarkan konsep sederhana dalam pemanfaatan potensi internal supaya maslahat bagi NU dan Nahdliyin," ucap Muhtarom.


Dia mencontohkan, warga NU adalah konsumen dan pemakai terbesar produk sarung yang diproduksi di Indonesia. Ironisnya, hampir 99 persen produsennya justru bukan dari kalangan NU sendiri.


Di saat ramainya perang pemikiran (ghazwatul fikr) dan penguasaan ruang-ruang publik, lanjutnya, hampir tak kelihatan identitas atau atribut-atribut NU. Warga dan kader NU masih belum percaya diri dan masih malu-malu untuk menunjukkan jati dirinya kepada publik bahwa dirinya NU.


Dengan modal pengalaman dari personel-personel PCNU dalam produksi sarung dan batik, PCNU Kota Pekalongan memerintahkan kepada Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) segera mengawali produksi supaya bisa diperkenalkan dalam event Muktamar ke-33 NU di Jombang Jawa Timur tahun 2015.


"Dalam produk sarung sengaja disertakan logo NU di salah satu sisi tumpal dengan tujuan supaya ada respons dari para masyayikh NU, stakeholders NU, struktur NU, dan warga NU di semua lapisan baik respons positif maupun negatif," jelasnya.


Respons yang diharapkan saat itu sambungnya, berupa kritik dan saran dari sudut adab, estetika, dan kepantasan dalam penggunaan logo NU di salah satu sisi tumpal sarung. Respons yang masuk sebagian besar justru positif dan memberikan apresiasi atas diluncurkannya produk sarung NU.


Muhatrom menjelaskan, di antara respons positif warga NU memberikan alasan sebagai berikut: 


Pertama, logo NU di sarung menunjukkan suatu kebanggaan bahwa lembaga ekonomi NU bisa memproduksi pakaian khasnya untuk menunjukkan identitas, kebanggaan, dan upaya pemberdayaan ekonomi lembaga maupun warga.


Kedua, penempatan logo NU di salah satu tumpal masih ditolerir dari sudut adab dan estetika. Karena di situlah letaknya jika seseorang ingin menunjukkan jati diri dan kebanggaan terhadap NU melalui sarung.


Ketiga, jika dirasa kurang sreg dan terkesan su’ul adab maka pemakaian sarung bisa dibalik, yaitu menempatkan logo NU di atas sehingga tidak terlihat dan tidak khawatir menjadi lambaran pantat ketika duduk.


Keempat, penggunaan logo NU bisa diganti dengan logo lain ketika warga NU sudah mengetahui bahwa NU mampu memproduksi kebutuhan warganya sendiri.


Kelima, bahwa produk ini bisa digunakan untuk memancing munculnya potensi-potensi ekonomi di lingkungan NU guna memberdayakan jam'iyah dan jamaah, sehingga NU bisa keluar dari stigma negatif sebagai organisasi proposal dan selalu menunggu uluran tangan orang lain.


"Respons positif dari kalangan internal NU dibuktikan dengan semakin banyaknya warga berani menunjukkan jati dirinya dengan memakai pakaian baik sarung, baju, peci, sorban, kerudung, jilbab, kaos dan lain-lain yang menyertakan logo NU," bebernya.


Ia menambahkan, identitas NU yang ditunjukkan melalui media lain juga semakin marak, termasuk di media sosial dan ruang-ruang ruang publik. Meningkatnya permintaan pasar terhadap pakaian beratribut NU memancing beberapa pihak baik dari warga NU maupun non-NU untuk memproduksi barang-barang yang sama seperti yang diproduksi oleh LPNU Kota Pekalongan.


"Awalnya, mereka meniru persis baik bahan baku, motif, maupun kemasannya. Namun, belakangan mereka di samping masih tetap menjiplak produk LPNU, juga mulai membikin inovasi-inovasi dalam produknya. Contoh inovasi produk adalah baju batik, koko, dan sarung batik berlogo NU," ucapnya. 


Namun, sambungnya, amat disayangkan karena di samping mereka sebagian besar tidak memberikan kontribusi nyata kepada lembaga NU juga menempatkan logo NU di sembarang tempat yang tidak elok dilihat dan dirasa, seperti penempatan logo NU yang disebar di seluruh bagian motif bahkan di bagian pantat. 


"Inilah yang akhirnya semakin membikin kontroversi dalam penggunaan logo NU di sarung," tandasnya.


Sementara itu, warga NU Kota Pekalongan H Marzuki Ismail (55) mengaku bangga menggunakan sarung maupun atribut lain berlogo NU.


"Ada kebanggaan tersendiri setiap kali memakainya baik untuk kegiatan jam'iyah maupun jamaah," ucapnya.


Pewarta: Abdul Muiz

Editor: Musthofa Asrori