Daerah

Kenapa Santri Harus Bisa Bertani?

Rab, 18 September 2019 | 12:30 WIB

Kenapa Santri Harus Bisa Bertani?

Pengasuh Pondok Pesantren Fathul Ulum, KH Habibul Amin bersama santri memanfaatkan lahan pesantren untuk pertanian. (Foto. istimewa)

Jombang, NU Online
Para santri seyogyanya tidak bisa terhindarkan dari dunia pertanian. Pertanian merupakan hajat hidup manusia di sepanjang usianya. Tidak ada tani bisa dibilang tak ada yang bisa dimakan. Dengan demikian pertanian harus terus lestari.
 
Situasi itu menjadi perhatian serius bagi Pondok Pesantren Fathul Ulum, Desa Gardu Laut, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Setiap hari para santri juga diajari untuk bertani di lahan yang disediakan pesantren.
 
Pengasuh Pondok Pesantren Fathul Ulum, KH Habibul Amin mengemukakan, pihaknya berupaya mendidik santrinya dengan berbagai kecakapan yang mumpuni, bukan hanya keterampilan dalam keagamaan dan baca kitab kuning, namun kemampuan berwirausaha juga harus diajarkan. Salah satunya melalui pertanian dan peternakan.
 
"Karena santri saat ini sudah serba instan. Makan sudah disediakan pondok, nyuci sudah ada laundry. Nah kondisi ini menuntut pesantren untuk memupuk skill santri karena pada saatnya mereka akan kembali ke rumahnya masing-masing," katanya kepada NU Online, Senin (16/9).
 
Sebagaimana santri di zaman dahulu. Di samping setiap hari diajarkan ilmu agama, mereka juga tidak meninggalkan aspek kemampuan usaha. "Santri dulu selalu siap saat kembali ke rumahnya, karena santri sebelum ngaji diajak kiainya ke sawah, diajak ke pasar dan seterusnya," imbuhnya.
 
Santri memang harus serba bisa sebagai bekal kelak saat berjuang di tengah masyarakat. Pasalnya, menurut kiai yang kerap disapa Gus Amin ini kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan santri terhadap dunia usaha masih lumayan minim. Untuk itu pesantren dan segenap unsur yang dimiliki juga harus memikirkan ini.
 
"Banyak yang masih meragukan jebolan dari pesantren. Mereka bisa apa. Ijazahnya tidak laku, life skillnya juga tidak punya. Makanya skill itu beliau-beliau ajarkan pada santrinya," ucapnya. 
 
Di pesantren ini lebih pada pertanian hortikultura, yakni jenis tanaman yang dibudidayakan. Bidang kerjanya meliputi pembenihan, pembibitan, kultur jaringan, produksi tanaman, panen, pengemasan dan distribusi. Hortikultura merupakan salah satu metode budidaya pertanian modern.
 
Berbagai bidang itu semuanya dikelola oleh santri. Menariknya, sejumlah macam pertanian tersebut dikonsep dengan bermata rantai. Semuanya saling membutuhkan. Misalnya dalam urusan dapur santri, pondok membuat dapur yang biasa disebut dengan dapur hidup. Dapur ini tak pernah kehabisan stok jenis sayuran dan semacamnya. Juga tidak pernah kebingungan dalam hal pendistribusiannya.
 
"Mereka (santri, red) bisa membuat dapur hidup, jadi sebagian santri nanam lombok, buat polybag sayur. Kemudian limbahnya dari sisa makanan kita olah menjadi pupuk dan seterusnya. Nah, kalau begini, kebutuhan dapur kan selesai," jelasnya.
 
Terkait pendistribusiannya, hasil olahan dapur hidup yang sudah siap dimakan itu kemudian dijual kepada santri sendiri. Begitu juga dengan seterusnya.
 
Ada pula sebagian hasil pertanian yang dijual di kantin yang sudah tersedia. "Di kami masing-masing sudah ada jalurnya. Misal hasil pertanian, santri juga bisa menjualnya di kantin," ucapnya.
 
Dari itu semua, yang paling urgen dalam pertanian adalah soal pupuk. Untuk itu pesantren juga mengajarkan bagaimana santri bisa membuat pupuk secara mandiri. Alhasil, saat ini soal pupuk tidak beli di luar. Hal ini pula dikonsep bermata rantai untuk kebutuhan kesuburan dunia pertanian yang ada di pesantren.
 
"Santri yang bisa buat pupuk dibeli santri yang membutuhkan pupuk misal dalam pertanian, hasilnya nanti dibeli anak boga, kemudian hasilnya dijual pada santri," urainya.
 
Gus Amin mengaku, dengan model pertanian yang semuanya dilakukan secara mandiri, terlebih pupuk, hasilnya terus meningkat setiap kali panen. Sebab dalam pertanian, yang pertama harus bisa mandiri adalah pupuk. Jika harus beli ke pihak luar, hasil panen akan sedikit, bahkan bisa jadi tidak seimbang dengan biaya yang dipakai mulai awal nanam hingga saat panen.
"Petani harus mandiri pupuk terutama. setelah pupuk bisa, harus mandiri bibit, berikutnya kita mulai melihat jaringan pasar. Kalau pupuk saja tidak mandiri, maka akan sulit. Sementara santri di sini sudah bisa mandiri semuanya," tandasnya.
 
Namun demikian pria yang jug pengurus HIPSI Bidang Hubungan antar Pesantren ini mengungkapkan, tidak semua santri berkecimpung di dunia pertanian dan peternakan. Pondok ini hanya memprioritaskan untuk santri yang sudah duduk di bangku Madrasah Aliyah. Karena bagi Gus Amin, mereka itu sudah saatnya memikirkan usaha yang dapat menunjang biaya hidupnya nanti saat sudah kembali ke kediamannya.
 
"Anak yang Aliyah saja. Kita tawarkan untuk ikut berusaha, waktunya memikirkan hidupnya kelak," ujar Gus Amin. 

Kontributor: Syamsul Arifin
Editor: Zunus Muhammad