Daerah HASIL PENELITIAN

Jaminan Produk Halal dari Voluntary ke Mandatory

Rab, 22 Juli 2020 | 23:30 WIB

Jaminan Produk Halal dari Voluntary ke Mandatory

Penelitian Muhammad Azis menyebutkan pada awal kemunculannya sampai pada proses pergeserannya berprinsip pada voluntary kemudian bergeser kepada prinsip mandatory.

Semarang, NU Online

Penelitian berjudul Manajemen Sertifikasi Halal di Indonesia (Pergeseran dari Voluntary ke Mandatory oleh Muhammad Aziz menghasilkan temuan bahwa mekanisme penyelenggaraan jaminan produk halal di Indonesia melalui sistem pengelolaan sertifikasi halal. 

 

Pada awal kemunculannya sampai pada proses pergeserannya berprinsip pada voluntary kemudian bergeser kepada prinsip mandatory. Dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama’ Indonesia (LPPOM MUI) ke Badan Penyelenggaran Jaminan Produk Halal (BPJPH) menggunakan sebuah sistem yang disebut dengan Sistem Jaminan Halal (HAS 20003) yang menggunakan sebelas kriteria.

 

Penelitian yang dilakukan oleh promovendus selama lebih dari dua tahun ini juga menyebutkan sebelas kriteria tersebut adalah, (1) Kebijakan Halal; (2) Tim Manajemen Halal; (3) Pelatihan dan Edukasi; (4) Bahan; (5) Produk; (6) Fasilitas Produksi; (7) Prosedur tertulis untuk Aktivitas kritis; (8) Kemamampuan Telusur (Traceability); (9) Penanganan produk yang tidak memenuhi kriteria; (10) Audit Internal; (11) Kaji Ulang Manajemen. Khusus kriteria keenam Fasilitas Produksi, dipolakan menjadi tiga. Yaitu, khusus untuk industri pengolahan, kedua khusus untuk restoran/katering, ketiga khusus untuk Rumah Potong Hewan (RPH).

 

Penemuan berikutnya, analisis fungsi manajemen terhadap sertifikasi halal di Indonesia yang dilakukan oleh LPPOM MUI dalam pengelolaan sertifikasi halal selama ini tercermin dari sebelas  kriteria yang terdapat dalam SJH LPPOM MUI/HAS 23000 tersebut. Analisis fungsi ini dapat dipetakan dengan menggunakan analisis fungsi manajemen. Hasilnya empat kriteria masuk pada fungsi perencanaan (planning), yaitu: kebijakan halal, pelatihan dan edukasi, prosedur tertulis untuk aktivitas kritis dan kemamampuan telusur (traceability).

 

Kemudian, satu kriteria masuk kategori pengorganisasian (organizing), yaitu; tim manajemen halal; empat kriteria masuk kategori pelaksanaan (actuating); yaitu bahan, produk, fasilitas produksi dan penanganan produk yang tidak memenuhi kriteria; dan dua kriteria termasuk kategori pengawasan dan evaluasi (controlling), yaitu audit internal, kaji ulang manajemen. 


Hasil lainnya, terjadinya pergeseran dalam pengelolaan sertifikasi halal yang ada di Indonesia ini. Dari prinsip voluntary kepada prinsip mandatory ini disebabkan oleh pengelolaan sertifikasi halal secara voluntary dianggap belum mampu untuk melindungi konsumen (khususnya konsumen muslim), terhadap produk-produk yang beredar dan diperjualbelikan di Negara Indonesia. Karena itu harus ada instrumen hukum yang dapat menguatkan dan memberikan perlindungan kepada konsumen, yaitu melelui sebuah mekanisme jaminan produk halal melalui sistem sertifkasi halal yang mandatory.

 

Berikutnya, mandatory dalam sertifikasi halal sebagai bagian dari cara perlindungan konsumen (khususnya umat Islam), adalah bagian dari amanat Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu, harus dijalankan secara prosedural dan legal melalui payung hukum UU JPH. Sertifikasi halal secara mandatory terhadap produk yang beredar dan dijualbelikan di Indonesia itu dalam rangka perlindungan dan memperkuat terhadap produk-produk lokal Indonesia dari arus produk impor.

 

Hal itu juga memberikan catatan bahwa kran kebebasannya sudah dibuka sejak berlakunya sistem masyarakat ekonomi ASEAN. Ini sekaligus juga memproteksi produk-produk impor yang belum jelas halal-haramnya, sehingga wajib disertifikasi halal.

 

Sertifikasi halal di Indonesia secara mandatory diberlakukan, karena akan menguatkan daya saing produk Indonesia di pentas perdagangan global dan internasional, khususnya di Timur Tengah dan Negara-Negara Muslim lainnya.

 

Penelitian tersebut dipresentasikan dalam ujian disetrasi. Muhammad Azis sendiri adalah juga Kepala Lembaga Penelitian dan Pengbadian Masyarakat pada Institut Agama Islam Al-Hikmah Tuban (LPPM IAI Al-Hikmah Tuban). Setelah berlangsung hampir tiga jam pelaksanaan ujian pada 14 Juli 2020 lalu, semua dewan penguji sidang promosi doktor, bersepakat memberikan nilai baik pada promovendus. Muhammad Azis yang juga tercatat sebagai Pengurus Pusat Himpunan Alumni Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Suci-Gresik (HIMAM) resmi menyandang gelar Doktor (Dr).

 

Disertasinya itu dipertahankan dalam sidang terbuka promosi Doktor Program Doktor Pascasarjana Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, di Ruang Promosi Doktor Lantai 3 Kampus 1 UIN Walisongo Semarang. Disertasi promovendus ini diuji oleh delapan orang yang ahli bidangnya masing-masing, yaitu: Prof. Dr. H. Fatah Syukur, M. Ag sebagai ketua sidang/penguji; Dr. H. Muhammad Sulthon, M.Ag sebagai sekretaris sidang dan penguji; Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA sebagai penguji eksternal dari MUI; Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag sebagai penguji, Prof. Dr. H. Muslich, MA sebagai penguji; Dr. Ali Murtadlo, M.Ag sebagai penguji; Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA sebagai promotor dan penguji; Prof. Dr. H. Abdul Ghofur, M.Ag sebagai Ko-promotor dan penguji. 

 

"Dengan adanya kajian tentang sertifikasi halal ini, ke depan saya berharap kesadaran yang tinggi pada produsen untuk taat pada regulasi yang sudah dibuat oleh negara, dalam rangka melindungi konsumen dan menaikkan daya saing produk halal Indonesia di tingkat global," kata Muhammad Azis.

 

Editor: Kendi Setiawan