Daerah

Jagong Relawan, Upaya LPBINU Ponorogo Kurangi Risiko Bencana

Jum, 6 November 2020 | 09:00 WIB

Jagong Relawan, Upaya LPBINU Ponorogo Kurangi Risiko Bencana

Jagong Relawan bersama LPBINU Ponorogo, Kamis (5/11). (Foto: Istimewa)

Ponorogo, NU Online

Kejadian bencana alam yang kerap menimbulkan dampak bagi manusia, hilangnya harta benda, serta kerusakan alam menjadi tantangan bagi relawan. Karenanya harus dilakukan pengelolaan untuk meminimalisir dampak bencana.

 

Tujuan itu yang coba diwujudkan LPBINU Ponorogo melalui Jagong Relawan, Kamis (5/11) di Kantor PCNU Ponorogo, Jawa Timur.

 

"Tujuan acara ini untuk menimba ilmu tentang kerelawanan dan kebencanaan," kata Novi Tri Hartanto, ketua LPBINU Ponorogo.

 

Menurutnya, relawan LPBI harus dibekali ilmu tentang bagaimana mengurangi risiko bencana.

 

Hal senada juga ditegaskan Gus Kholid, Koordinator LPBINU Ponorogo saat memberi sambutan. Tingginya aktivitas LPBINU menurut Gus Kholid layak diacungi jempol. "LPBINU itu multitalenta karena hampir di setiap kebencanaan dan sosial kemasyarakatan selalu ikut andil," tambahnya.

 

Sementara itu, Mbah Darmo yang punya nama asli Darmanto (Jangkar Kelud) pada materi kelas mengatakan dasar hukum kebencanaan yaitu UU no.24 tahun 2007. Pria kelahiran Malang itu bercerita banyak istilah dalam hal kerelawanan dan kebencanaan.

 

"Apa bedanya relawan dan sukarelawan?" tanyanya yang langsung dijawab dengan beragam oleh para peserta. Dijelaskannya, relawan itu harus selalu siap, mulai prabencana, saat terjadi bencana dan paskabencana. Mbah Darmo yang menjabat Sekretaris Jendral Forum Pengurangan Risiko Bencana Provinsi Jawa Timur bercerita pengalamannya saat terjadi bencana Gunung Kelud.

 

"Saya mulai dikenal teman-teman relawan dengan sebutan Darmo atau Mbah Darmo saat menangani bencana Gunung Kelud," tutur dia mengawali perkenalannya.

 

Di hadapan undangan yang terdiri Banom dan Lembaga NU itu, Mbah Darmo menyampaikan hal baru terkait ilmu kebencanaan. Dikatakan oleh dia, pencegahan bencana sangat penting ketimbang menangani bencana. "Bagaimana (agar) pencegahan bencana menjadi budaya," tegasnya.

 

Seperti budaya ada orang meninggal, masyarakat secara otomatis sadar tugasnya masing-masing. Tugas relawan juga harus mampu mengedukasi masyarakat untuk mengantisipasi agar tidak terjadi bencana.

 

Kesiapsiagaan masyarakat saat ini, dengan memasuki musim hujan harus ditingkatkan untuk menghadapi bencana banjir. Perbaikan drainase, membersihkan saluran air, serta penanaman pohon di daerah rawan longsor sangat perlu dilakukan.

 

"Kita mulai saat ini harus ready. Emergency respons sangat dibutuhkan untuk mengurangi resiko bencana banjir," jelasnya.

 

Disebutkan, ada beberapa fase dalam kebencanaan. Mulai fase prabencana, saat bencana, dan paskabencana. Relawan harus selalu ada di ketiga fase tersebut. Terutama fase prabencana berupa tindakan mitigasi harus lebih ditingkatkan. "Semakin besar tindakan pencegahan maka semakin kecil tingkat resiko yang ditimbulkan," imbuhnya.

 

Early warning system harus dibiasakan dalam setiap bencana. Kegiatan prabencana berupa pencegahan. Mencegah lebih baik daripada menangani bencana. Gambaran mencegah yaitu melakukan upaya mengurangi risiko (mitigasi) struktural dan nonstruktural dan juga mitigasi spiritual.

 

"Struktural ke arah fisik seperti drainasi, penghijauan dan sebagainya; nonstruktural berupa peningkatan sumbet daya manusianya. Akan lebih baik pencegahan secara spiritual diterapkan dalam masyarakat. "Contoh melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama melalui fatwanya," imbuhnya.

 

Selanjutnya fase siaga darurat atau siaga sebelum kejadian bencana. EWS (early warning system atau jika sudah diaktifkan maka bisa dimulai evakuasi. Jadi proses evakuasi tidak hanya dilakukan saat terjadi bencana.

 

Pada tahap evakuasi terhadap manusia, hewan ternak, barang berharga. Strateginya, diprioritaskan manusia, hewan ternak, baru barang berharga. Manusia yang rentan diselamatkan (evakuasi) yaitu ibu hamil, balita, lansia, disabilitas, orang sakit parah dan hewan ternak.

 

"Fase transisi darurat yang dibutuhkan TRC (tim reaksi cepat) untuk melakukan kaji cepat diolah tim baru dilaporkan kepada pemerintah. Selanjutnya diumumkan darurat oleh pemerintah. Tanggap darurat meliputi kebutuhan darurat dan pemulihan darurat. Pemulihan darurat menyangkut kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan dan psikologi (kejiwaan). Selain itu istilah LDP atau layanan, dukungan pemulihan," bebernya.

 

Berikutnya, ada juga istilah yang harus dipahami yaitu rehabilitasi dan rekonstruksi (RR). Peningkatan risiko juga harus dipahami. Dalam bencana Covid-19 misalnya, berlaku rumus kurangi mobilitas, kurangi interaksi fisik. "Sebaliknya tingkatkan imunitas dan tingkatkan kesehatan atau layanan kesehatan," pungkasnya.

Editor: Kendi Setiawan