Probolinggo, NU Online
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama (PW LTMNU) Jawa Timur KH Jazuli Soleh, Jum’at (15/6/2018) pagi menjadi imam dan khatib shalat Idul Fitri 1439 Hijriyah di Masjid Agung Ar-Raudlah Kota Kraksaan Kabupaten Probolinggo.
Shalat Idul Fitri 1439 Hijriyah ini diikuti oleh Pj Bupati Probolinggo Tjahjo Widodo dan sejumlah pejabat di lingkungan Pemkab Probolinggo serta ratusan nahdliyin yang ada di Kota Kraksaan dan sekitarnya.
“Lebaran ini disebut Idul Fitri karena dalam Idul Fitri terkandung makna mengembalikan kepada rasa fitrah kasih sayang. Oleh karenanya, setelah kita meninggalkan masjid ini, tebarkanlah rahmat dan kasih sayang di tengah keluarga kita, di masyarakat, bahkan di seluruh alam raya,” kata Kiai Jazuli.
Menurut Kiai Jazuli Soleh, umat muslim telah meninggalkan satu bulan, yang bukan saja dipenuhi ibadah kepada Allah SWT, melainkan juga bulan ketika kita menaburkan kasih sayang terhadap sesama hamba Allah SWT.
“Seperti sabda Rasulullah SAW, inilah bulan yang pada awalnya kita sebarkan rahmat/kasih sayang, pada pertengahan kita tebarkan ampunan dan pada akhirnya kita bersihkan diri sehingga dapat terbebas dari siksa api neraka,” jelasnya.
Kiai Jazuli menegaskan, bulan Ramadhan adalah bulan rahmat, bulan kasih sayang. Pada bulan itu Allah SWT melimpahkan kasih sayang kepada kaum mukminin, pada gilirannya kita pun menyebarkannya kepada segenap makhluk-Nya.
“Pada bulan Ramadhan Allah SWT mendidik kita untuk merasakan lapar dan dahaga, supaya tumbuh pada diri kita rasa sayang kepada mereka yang dalam hidupnya bersahabat dengan lapar dan dahaga, pada akhir Ramadhan kita wujudkan perasaan ini dengan mengeluarkan zakat fitrah,” tegasnya.
Lebih lanjut Kiai Jazuli menjelaskan zakat fitrah memang diberikan pada akhir Ramadhan dan sebelum shalat Idul Fitri. Sebab itu telah mengingatkan kepada kita pada fitrah kasih sayang dalam hati nurani kita. Zakat fitrah mengenangkan kita betapa selama ini kita telah melupakan penderitaan saudara-saudara kita.
“Betapa selama ini kita lupakan mereka yang bekerja keras hanya untuk memperoleh sesuap nasi, mereka yang masih harus membanting tulang di hari tuanya karena tidak ada jaminan pensiun bagi mereka, mereka yang tidak sanggup meredakan rasa sakitnya karena tidak bisa berobat ke dokter. Mereka yang menarik anak-anak tercintanya dari sekolah dan memaksanya bekerja dan bergulat dalam kehidupan yang keras,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Muiz)