Daerah

HPN Cirebon Genjot Produksi Garam di Pegunungan, Seperti Apa?

NU Online  ·  Kamis, 10 Mei 2018 | 00:30 WIB

HPN Cirebon Genjot Produksi Garam di Pegunungan, Seperti Apa?

Garam gunung di Cirebon (Foto: Istimewa)

Cirebon, NU Online
Pepatah 'asam di gunung garam di laut' tidak menyurutkan Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN) Kabupaten Cirebon, Jawa Barat untuk bertani garam di dataran tinggi, tepatnya di Desa Ciawi Gajah, Kecamatan Beber, Kabupaten Cirebon, sebuah desa yang jauh dari laut. 

Gagasan untuk bertani garam di Ciawi Gajah ini muncul dari Biro Pengembangan Usaha Maritim dan Sumber Daya Kelautan, Haji Sanusi. Pria 59 tahun ini ditunjuk Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kabupaten Cirebon untuk menggelar bimbingan teknologi dalam memproduksi garam berkualitas.

Alih-alih membuat garam di pesisir pantai, penemu budidaya garam dengan Teknologi Ulir Filter (TUF) tersebut memilih Desa Ciawi Gajah yang berada di dataran tinggi. 



Sanusi bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Ciawi Gajah menyiapkan 7 petak lahan untuk memproduksi garam, yaitu 4 petak ukuran 12x7 meter dan 3 petak ukuran 7x4 meter. Untuk menghindari terpapar air hujan, bagian atas tambak dipasang plastik UV. Sedangkan alas tambaknya menggunakan plastik LDPE.

“Karena kalau menggunakan terpal, garam bisa terpapar dengan pewarna dari terpal itu,” jelas Ketua Biro Pengembangan Usaha Maritim HPN itu kepada NU Online, Rabu (9/5).

Usai instalasi tempat, tim gabungan dari BUMDes Ciawi dan HPN Cirebon mendatangkan air laut dari laut di Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, dengan menggunakan toren/penampungan air yang diangkut di mobil bak.

“Kebutuhan air laut ini cukup tinggi. Untuk 3 petak tambak ukuran 7x4 meter saya membutuhkan antara 3.600-4.000 liter air laut,” jelas Sanusi yang akrab disapa Pak Uci.

Dari toren, air laut ini dialirkan ke tambak melalui filter paralon yang di dalamnya terdiri dari lapisan ijuk, kerikil, arang batok kelapa, dan abu sekam, hingga tingkat kekeruhannya mencapai 1 persen. Ketinggian air di tambak tidak lebih 5 sentimeter.

Dalam tempo 10-15 hari, dari 3 lahan tambak seluas 7x4 sentimeter diharapkan menghasilkan 5 kwintal garam dengan kadar NaCl 95-97 persen dan 2 meter kubik bitten (air kandungan garam).



Kristal garam produksi Bumdes ini diolah menjadi garam kesehatan untuk Spa dan terapi. “Adapun turunan air bitten ini diolah lagi menjadi magnesium dan soda api, “ jelas pria yang akrab disapa pak Uci itu. Rencananya garam yang diproduksi hari ini akan dipanen pada 9 Mei 2018.

Menurut Pak Uci, pembuatan garam bisa dilakukan di mana pun asalkan bahan bakunya adalah air laut. Masalahnya, orang berpikir pembuatan garam akan sia-sia lantaran harga kristal asin itu sangat murah, hanya Rp 300 per kilogram. Dengan harga itu, biaya produksi mengangkut air laut dari wilayah pesisir tentu lebih besar dari potensi harga jual.

Hal inilah yang diluruskan oleh Pak Uci. Melalui HPN, Biro Pengembangan Usaha Maritim dan Sumberdaya Kelautan mengedukasi masyarakat bahwa garam yang diproduksi adalah garam kualitas industri dan farmasi yang harganya bisa mencapai Rp250.000 per kilogram.

Pasalnya, Pak Uci sudah 2 tahun memasok garam bagi farmasi dan industri. Karena itu ke depannya Haji Sanusi juga menggagas budidaya garam menggunakan meja produksi ukuran 80x80 sentimeter untuk skala rumahan. (Fathoni)