Daerah

Di Balik Kisah Sukses Santri Sukorejo Merintis Pabrik Kopi

Ahad, 5 Juli 2020 | 08:45 WIB

Di Balik Kisah Sukses Santri Sukorejo Merintis Pabrik Kopi

Ustadz Bukhari (paling kanan) bersama para karyawan yang rata-rata ibu rumah tangga sekitarnya. (Foto: NU Online/Aryudi AR)

Jember, NU Online
Pesantren bukan semata-mata mengajarkan ilmu tapi juga menebar  berkah. Banyak alumnus pesantren yang sebenarnya biasa-biasa saja saat di pondok, namun ketika pulang kampung dan berkecimpung di tengah-tengah masyarakat, mereka sukses  menjadi ‘orang’. Bahkan bidang kesuksesan itu terkadang  jauh dari  ‘jurusan’ ilmu yang dipelajari  di pondok.


Itulah yang  dirasakan oleh alumnus Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, Imam Bukhari. Pria yang tinggal di Dusun Sumbercanting, Desa Tugusari, Kecamatan Bangsalsari, Jember, Jawa Timur itu mengaku tak sengaja mendirikan pabrik kopi.


Ustadz Bukhari mengisahkan,  tiga tahun yang lalu, dirinya  mendapat  titipan kopi luwak beberapa kilogram dari salah seorang wali muridnya, untuk dijual. Kopi luwak memang terkenal enak tapi harganya selangit sehingga peminatnya juga terbatas. Untuk menawarkan kopi luwak itu, ia memanfaatkan media sosial facebook untuk promosi.


“Alhamdulillah, promosi  saya di facebook dibaca oleh Nyai Hj. Isa’iyah, putri KH As’ad Syamsul Arifin, guru saya. Dan beliau langsung mengirim messenger ke saya untuk membeli kopi luwak itu,” kenangnya saat memberi pemaparan terhadap santriwati di Sekretariat Kampung  SDGs, Desa Sukorejo, Kecamatan Bangsalsari,  Jember, Ahad (5/7).   


Keberhasilan menjual kopi luwak tersebut menginspirasi Ustadz Bukhari untuk menekuni binis kopi bubuk. Sekian waktu kemudian, lagi seorang petani kopi  menitipkan dua ton kopi untuk  dijual. Karena jumlahnya banyak, agar lebih resmi dalam memasarkan kopi, maka dibuatlah nama kopi BIKLA. BIKLA merupakan  akronim dari Barokah Ibrahimy Kopi Lereng Argopuro. Sebuah nama yang mengisyaratkan keterkaitan dengan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo. Raden Ibrahim adalah nama asli KH Syamsul Arifin, pendiri pesantren tersebut sekaligus ayahanda KH As’ad Syamsul Arifin.


Tapi ujian datang merajam. Akhir  ‘perjalanan’ kopi dua ton titipan orang  yang sudah  di-merk BIKLA itu cukup mengecewakan. Kopi ludes, uang juga tumpas.


“Mungkin karena manajemen pemasarannya asal-asalan,” jelas Ustadz Bukhari.


Namun kegagalan itu tak membuatnya putus asa. Ia kembali bangkit, tapi tentu kegagalan yang telah dirasakannya, menjadi rambu agar tidak terperosok ke dalam lubang yang sama  dua kali. Maka Ustadz Bukhari pun ‘berjualan’ kopi lagi dengan lebih hati-hati. Segala perijinan yang terkait dengan produk juga diurus, termasuk pembentukan Koperasi Pondok Pesantren (Koppontren) Ihya’us Sunnah  Al-Hasany sebagai pengelola pabrik kopi.


Pelan tapi pasti. Kopi BIKLA terus merangkak naik perekembangannya. Meski masih tergolong pabrik kecil, tapi jangkauan pemasarannya sudah cukup luas. Market  yang dibangun masih lebih mengandalkan  jaringan media sosial, sehingga tidak heran  peminatnya banyak dari luar Jember hingga luar Jawa.


“Alhamdulillah, ada pemesan rutin. Setiap hari  konsumen  butuh 6 ribu pcs atau 1 ton. Tapi kami hanya bisa memenuhi 3 ribu pcs karena kapasitas normal mesin sangrai hanya  3 ribu psc perhari. Alhamdulilah, Corona tak begitu berpengaruh terhadap penjualan” jelas Ustadz Bukhari.


Walaupun demikian, kesuksesan Ustadz Bukhari bukan sesuatu yang tiba-tiba.  Ia termasuk sosok yang ulet dan sabar dalam menekuni bisnis kopi bubuk. Konsumen pesan (kopi)  sediktipun tetap ia layani. Prinsipnya, jangan berharap yang besar dulu, karena yang besar asalnya juga kecil.


“Sedikit tetap wajib kita layani, yang penting tidak rugi, kami pakai ekspedisi (pengirimannya),” terangnya.


Saat ini, Ustadz Bukhari sedang membangun gedung baru untuk ruang produksi dengan mendatangkan mesin sangrai yang berkapasitas lebih besar.   


Ustadz  Bukhari mengakui bahwa apa yang dirinya capai saat ini tak lepas dari doa/barokah guru dan Pesantren Sukorejo –sebutan lain untuk Pesantren Salafiyah Syafi’iyah-- yang disinggahi dulu. Dikatakannya, menekuni bisnis kopi merupakan implementasi  dari salah satu wasiat Kiai As’ad Syamsul Arifin.


“Wasiat beliau ada tiga, salah satunya  adalah santri harus berjuang untuk membantu  pendidikan masyarakat. Apa yang saya lakukan ini juga untuk membantu  pendidikan. Sebab,  sebagian keuntungannya untuk membiayai pendidikan di lembaga saya,” pungkasnya.


Pewarta: Aryudi AR
Editor: Ibnu Nawawi