Daerah

Cak Anam: Menulis Sejarah NU dan Kiai Harus Teliti

Sab, 30 Juli 2016 | 19:05 WIB

Surabaya, NU Online
Narasumber untuk masalah Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat disegani dan dihormati adalah H Choirul Anam. Pria yang akrab disapa Cak Anam ini dikenal tidak sembarangan dalam mengambil kesimpulan terkait peristiwa yang ada hubungannya dengan kiai serta NU.

"Untuk itu saya tidak segan-segan tak mencantumkan tanggal dan bulan kalau ternyata tidak ada fakta yang membenarkan," kata Cak Anam, sapaan akrabnya, Sabtu (30/7).

Ia hadir pada acara halal bihalal dan refleksi 1 abad Nahdlatul Wathan yang diselenggarakan Pengurus Lembaga Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Kota Surabaya dan LTN NU Jawa Timur di Museum NU, Jalan Gayungsari Timur Nomor 35 Surabaya.

Pegiat harian Duta Masyarakat ini kemudian memberikan contoh terhadap keberadaan Nahdlatul Wathan (NW) yang hingga kini tidak disertakan tanggal dan bulan berdirinya. "Karena tidak ada yang bisa menunjukkan kapan tepatnya, baik tanggal serta bulan berdirinya Nahdlatul Wathan tersebut," ungkapnya.

Sedangkan kepastian tahun berdirinya NW diperoleh dari pengakuan sejumlah pelaku sejarah yang berhasil ditemui, lanjutnya.

Bagi Cak Anam, menggali peristiwa masa lalu dibutuhkan ketelitian. "Kalau tidak didukung fakta yang akurat, maka hal tersebut hanya dianggap dongeng," katanya di hadapan aktivis LTN NU se-Jatim tersebut.

Dia kemudian menceritakan pengalamannya melakukan wawancara dengan pelaku sejarah NU di masa awal yakni KH As'ad Syamsul Arifin. Cerita soal dialog serta peristiwa Kiai As'ad yang mengantarkan tasbih dan tongkat kepada KH Hasyim Asy'ari diperolehnya secara langsung.

"Saat itu saya datang ke Pesantren Sukorejo dan melakukan wawancara dengan Kiai As'ad, dan kemudian saya kirim ke harian Merdeka," kenang Anam. Bahwa kemudian saat Muktamar ke-27 NU dilangsungkan di Pesantren Sukorejo, itu antara lain karena banyak kalangan yang kemudian membaca serta mendengar peristiwa tersebut, lanjutnya.

Tugas berat sekarang diemban oleh para penulis muda NU. "Tidak mudah melakukan rekonstruksi sejarah, apalagi banyak tokoh yang telah meninggal," katanya. Karenanya kehati-hatian harus menjadi kata kunci agar tidak tersebar kabar bohong yang justru merugikan kiai dan NU, pungkasnya. (Ibnu Nawawi/Alhafiz K)