Daerah

Bulan Shafar di Cirebon

Ahad, 22 Desember 2013 | 07:05 WIB

Selasa 17 Desember 2013 tetes hujan jatuh di dapur beratapkan asbes di belakang rumah Surini. Dua tungku di dapurnya ditunggui Ulifah, Tuti, dan Ti’ah. Tiga tetangga Surini itu berjongkok khusyuk membuat kue apem sesuai permintaan pemilik dapur. Sambil mengipasi leher, mereka sesekali mendorong kayu bakar ke tungku yang terbentuk dari lima tumpukan bata merah.
<>
Tahun ini Surini warga Depok kabupaten Cirebon punya sedikit kocek buat membeli 20 kg beras. Semuanya digiling menjadi tepung yang selanjutnya diolah menjadi adonan dalam empat bak besar. Inilah bahan dasar mereka membuat apem. “Bagusnya sih pake kelapa tua. Tetapi nggak sempat,” kata Surini.

“20 kilogram terbilang sedikit. Ada juga tetangga yang membuat adonan hingga setengah kuintal beras,” kata Surini yang membantu tetangganya mengemas apem matang.

Surini satu dari warga Cirebon yang melakoni “Ngapem”. Ngapem merupakan tradisi sejak lama warga Cirebon yang membuat kue apem khusus pada bulan Shafar. “Wah, mulai zaman tikus masih kecil-kecil,” jelas Surini sambil tertawa menunjukkan saking lamanya tradisi Ngapem di desanya.

Ngapem konon tradisi keraton Cirebon pada bulan Shafar. Di era penjajahan, apem dimaknai sebagai simbol kolonial Belanda yang harus dihapus dari bumi Cirebon dengan cara menenggelamkan apem di air gula merah.

“Biar selamat dari bala,” imbuh Surini kendati tidak menyebut penjajahan pikiran, ekonomi, dan fisik Belanda sebagai salah satu bala. Selain Zulqa’dah, Shafar bulan di mana orang Cirebon terutama kecamatan Depok memantang hajatan pernikahan. Karena, kata Surini, dua bulan itu konon mengandung bala.

Kalau Muharram, orang sini sedekah bubur merah-bubur putih. “Ngapem Shafar katanya sih kelanjutan dari bulan Muharram yang diperingati sebagai hari penyelamatan Nabi Ibrahim AS dari pembakaran. Atau anggap saja wujud rasa syukur kami,” terang Surini.

Sebelum diantarkan ke tetangga dan kerabat, di tampah dan bakul besar Surini mengipasi apem panas yang baru diangkat. “Kalau kering, apem tidak cepat basi. Jadi besok pun masih bisa dimakan.”

Tungku di muka Ulifah memangku wajan datar dengan 7 cetakan. Di sinilah Ulifah menggarang adonan tepung beras. Sebelum adonan masuk, setiap cetakan diolesi minyak goreng dengan tulang daun pisang. Berdurasi 3-5 menit tanpa lupa membalik, adonan sudah berubah menjadi apem garang siap santap.

Adonan dibagi dua. Sebagian dibiarkan tawar. Sebagian dimaniskan sebelum dikukus atau digarang. Sebelum disantap, kue apem biasanya diguyur atau dicocol dengan air gula merah.

Sedangkan Tuti terlihat repot menangani dua langseng sekaligus. Di atas tungku yang dihadapinya, ia mengukus adonan dalam cetakan agar-agar. Mereka mulai mengolah adonan itu sejak setengah 4 sore hingga setengah 11 malam di dapur berukuran 5 x 10 meter.


Kalau dahulu saban habis subuh, kita waktu masih anak-anak mendatangi rumah-rumah tetangga yang dapurnya ngebul. Mereka masak mulai jam 3 dini hari, kata suami Surini yang ikut nimbrung, Anwar Sanusi, acap dipanggil Sanusi.

“Kita dengan beberapa teman teriak di luar dapur “Jipem”. Jipem singkatan dari siji apem (minta apemnya satu),” seloroh Sanusi dengan logat khas Cirebon.

Apem biasanya banyak dijual di pasar pada bulan Shafar. Untuk bulan lain, biasa jarang sekali. Pokoknya bulan Shafar. Dulu sih bikin apem makan waktu agak lama, beras terlebih dahulu ditumbuk alu. Sekarang beras masuk mesin giling, keluar jadi tepung, lontar Sanusi yang mengais rezeki dari kerajinan furnitur memenuhi pesanan ekspor sejak 1990.

Tiap rumah diantarkan satu bungkus plastik berisi 5-6 kue apem dan air gula merah seperempat plastik es. Kalau anggota keluarga di rumah itu agak banyak, maka kita isi 8-10 apem, lanjut Sururin.

“Sedekah intinya menolak bala. Tiada yang salah dengan sedekah kan?” tandas Sanusi. (Alhafiz K)