Daerah

Belajar dari Kiai Kholish, Sosok Ikhlas dan Pemberani

Sen, 2 November 2020 | 11:00 WIB

Belajar dari Kiai Kholish, Sosok Ikhlas dan Pemberani

Kiai Muhammad Kholish. (Foto: Istimewa)

Jember, NU Online
Kiai Muhammad Kholish, bisa jadi nama yang tidak terlalu populer. Maklum, ia adalah tokoh di level kabupaten. Tapi komitmen dan konsistensinya yang luar biasa dalam membela kebenaran patut diteladani. Langkah dan sepak terjangnya  tulus, semata-mata untuk kepentingan umat. Kiai Kholish, panggilan akrabnya, nyaris selalu berhadap-hadapan dengan penguasa karena faktor politik. Namun hal tersebut tidak membuat nyalinya ciut. Prinsipnya, sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Maju tak gentar membela kebenaran.


Kiai Kholish lahir di Jember, Jawa Timur, tepatnya di Dusun Rowo, Desa/Kecamatan Pakusari,  7 Desember 1944 dengan nama kecil Arpa’i. Ia terlahir sebagai anak tunggal dari pasangan H Muhammad Syafi’ie dan Suryani.


Waktu kecil, ia belajar mengaji Al-Qur’an kepada seorang kiai kampung di Dusun Gempal, sekitar 3 kilometer dari Dusun Rowo. Menginjak remaja, Arpa’i  mondok di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Desa Langkap, Kecamatan Bangsalsari, Jember. Di pesantren itu, nama Arpa’i diubah menjadi Arba’ien.


Sekian waktu lamanya ia menimba ilmu di  pesantren asuhan Kiai Kholili Ilyas dan Kiai Ahmad Baihaqi itu. Namun tanpa banyak yang tahu, tiba-tiba Arba’ien sudah pindah ke Pondok Pesantren Tegal, Prenduan, Sumenep, Madura.


Di situlah ia berguru kepada KH Ahmad Jauhari Khatib. Di situ pula  nama Arba’ien kemudian diganti menjadi Muhammad Kholish.


Setelah dirasa cukup mengenyam pendidikan di Tegal,  Kholish muda  pulang kampung. Berbekal ilmu yang didapat dari para gurunya, Kholish mencoba merajut masa depannya.


Mengajar Ngaji, Kerap Jalan Kaki

Sebagai alumni pesantren, Kholish merasa punya tanggung jawab untuk mengarahkan langkah masyarakat ke arah yang benar. Kiai Kholish pun  tak kenal lelah menyadarkan masyarakat betapa pentingnya beragama yang benar. Doa selalu dipanjatkan, usaha terus dilakukan. Pelan-pelan, moral masyarakat berevolusi ke arah yang lebih baik.


Selain mengajar mengaji di berbagai tempat, Kiai Kholish juga kerap mengunjungi sejumlah kiai, baik untuk kepentingan konsolidasi atau sekadar sowan saja. Untuk wilayah Jember, Kiai Kholish biasanya menggunakan sepeda pancal, itu pun kalau dapat pinjaman. Jika tidak dapat pinjaman sepeda, Kiai Kholish naik truk yang melintas di depan rumahnya, dan turun di mana truk itu berhenti. Untuk sampai ke tempat tujuan, ia masih menunggu truk lagi, atau langsung jalan kaki. Bahkan tak jarang ketika mengundang Kiai Umar Sumberwringin, Kiai Kholish pulang-pergi jalan kaki. Padahal jarak antara Desa Pakusari dengan Sumberwringin lumayan jauh, sekitar 15 kilometer


Di luar Jember, selain dengan Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Kholish juga menjalin komunikasi dengan sejumlah kiai. Misalnya ia akrab dengan Kiai Hasan Saifurridjal dan saudara-saudaranya di Genggong, Probolinggo. Kendati Kiai Kholish akrab layaknya sahabat dengan mereka, tapi ia tetap memposisikan diri sebagai santri di hadapan mereka.


Tragedi setelah Menemui KH Achmad Shiddiq

Kiai Kholish dikenal sebagai orang yang gampang menggalang massa. Ia kerap menggelar pengajian, baik di rumahnya maupun di tempat-tempat umum. Saat itu, jadi penggalang massa berisiko tinggi, terutama yang bukan untuk kepentingan penguasa. Tidak sedikit, tokoh NU yang ditahan, diambil paksa tanpa alasan yang jelas. Tapi itu semua tak membuat Kiai Kholish keder. Ia tak pernah memikirkan risiko. Godaan, tawaran dan iming-iming dari  penguasa, ia abaikan.  


Malam itu (1979), Kiai Kholish dipanggil oleh KH Achmad Shiddiq untuk  bertemu di pondok pesantren Talangsari. Menjelang isya, ia mengayuh sepeda pancalnya menuju Talangsari.  Ulama kharismatik itu perlu bertemu dengan Kiai Kholish untuk membicarakan soal rencana pengajian yang akan segera digelar. Memang, Kiai Kholish saat itu  merancang sebuah pengajian besar di rumahnya, Desa/Kecamatan Pakusari, Jember.


KH Achmad Shiddiq menyambut kedatangan Kiai Kholish dengan penuh kehangatan. Keduanya memang sahabat karib, namun Kiai Kholish tetap memposisikan diri sebagai santri di hadapan ulama kesohor itu.


Pertemuan tersebut berlangsung cukup lama. Keduanya terlibat pembicaraan seputar NU, khususnya dalam pengajian yang akan digelar tak lama  lagi.  Setelah dirasa cukup, pertemuan itu pun disudahi.


Waktu sudah melewati paruh malam. Kiai Kholish pun pamit pulang, karena besoknya ia masih harus mempersiapkan segala sesuatunya terkait rencana pengajian itu.


Di kegelapan malam, Kiai Kholish  meninggalkan Talangsari menuju rumahnya dengan mengayuh sepeda. Namun ternyata malam itu adalah malam nahas baginya. Betapa tidak, ia ditemukan tergeletak tak berdaya di utara Gladak Kembar, tepatnya di pertigaan Jalan A Yani, sekitar 3 kilometer dari Talangsari.


Informasinya, Kiai Kholish terjatuh dari truk. Namun kabar tersebut terasa janggal bagi anak dan keluarganya. Sebab, untuk apa Kiai Kholish naik truk, padahal dia bawa sepeda pancal. Kejanggalan itu makin terasa karena sepeda pancal milik Kiai Kholish ditemukan di pinggir jalan  di Wirolegi, sekitar 4 kilometer ke arah timur Gladak Kembar.


“Makanya sampai sekarang saya belum paham kenapa itu bisa terjadi. Bagi saya itu masih misteri,” ujar Ustadz Hafidi, anak sulung Kiai Kholish.


Peristiwa tersebut terjadi malam Jumat. Oleh keluarganya, Kiai Kholish dibawa ke Rumah Sakit dr. Soebandi, Patrang Jember untuk dilakukan pengobatan. Namun kondisinya semakin memburuk.


Setelah empat hari di rumah sakit, nyawa Kiai Kholish tak tertolong Ia menghadap Sang Khaliq dengan tenang hari Senin, tanggal 17 Syawal 1399/10 September 1979.


Perkawinan Kiai Kholish dengan Suryani, dikarunia tiga orang anak, yaitu Mochammad Hafidi, Siti Farida, dan Muhammad Taufiqi.


Kini, 41 tahun Kiai Kholish pergi, namun jasanya tetap dikenang masyarakat. Saat ini, Pondok Pesantren Islam Bustanul Ulum, berkembang cukup pesat di bawah tata kelola anak sulungnya, H Mochamad Hafidi dan dua saudaranya yang lain.


Bustanul Ulum, awalnya adalah nama mushala yang dibangun Kiai Kholish, kemudian menjadi nama pesantren. Dan kini perkembangannya cukup membanggakan. Betapa tidak, di pesantren ini terdapat lembaga formal berupa Madrasah Diniyah, Madasah Ibtidaiyah, SMP, dan SMK dengan jumlah murid hampir 5.000 orang. Hebatnya, mereka tidak dipungut biaya alias gratis.


Pewarta:  Aryudi A Razaq
Editor: Muhammad Faizin