Daerah

Beda Responsif dan Reaktif dalam Bermedia Sosial

Kam, 27 Mei 2021 | 00:45 WIB

Beda Responsif dan Reaktif dalam Bermedia Sosial

Jika semua dipercaya atau dijadikan asupan bagi otak, maka lambat laun akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang.

Pringsewu, NU Online
Di era media sosial saat ini, di mana informasi mengalir tak terbendung setiap detiknya, masyarakat harus bijak dan selektif dalam mengonsumsinya. Pasalnya, informasi yang tersebar di media sosial saat ini banyak yang diproduksi oleh orang atau kelompok tertentu untuk sebuah kepentingan.


Berbagai informasi hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda dengan berbagai motif mulai agama sampai dengan politik dan ekonomi, sudah menjadi hal yang biasa. Jika semua dipercaya atau dijadikan asupan bagi otak, maka lambat laun akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang.


Menyikapi hal ini, Mustasyar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pringsewu KH Sujadi mengingatkan masyarakat untuk selektif dalam memilih informasi dengan tidak reaktif terhadap apa yang yang dilihat dan didengar di medsos.


"Di era media sosial saat ini kita harus responsif tapi jangan reaktif," ujarnya pada Kajian Tafsir Al-Quran Virtual yang diasuhnya setiap hari.


Makna sikap responsif di sini menurutnya adalah peka dan tahu terhadap dinamika perkembangan yang terjadi sebagai upaya untuk mengambil sikap yang benar. Orang responsif ini berbeda dengan orang reaktif yang gampang terpengaruh dan tersulut dengan informasi yang beredar di medsos.


“Ciri orang reaktif dalam bermedsos seperti gampang men-share atau membagikan informasi tanpa diseleksi dulu. Seharusnya disaring dulu, jangan gegabah karena bisa berimbas bagi diri sendiri dan orang lain,” jelasnya, Kamis (27/5).


Hal ini selaras dengan ayat Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 5 yang mengingatkan umat Islam untuk senantiasa melakukan tabayun atau klarifikasi terhadap kebenaran sebuah informasi. Umat Islam diingatkan untuk tidak mudah membagikan informasi dari sumber yang tidak jelas karena akan membawa kemudlaratan bagi sendiri dan orang banyak.


Adapun arti ayat Al-Qur’an tersebut adalah: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan kamu itu”.


Terkait muamalah atau aktivitas di dunia maya atau medis sosial ini sendiri, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan panduan berupa Fatwa MUI Nomor: 24 Tahun 2017 Tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial.


Dalam fatwa tersebut ditegaskan bahwa umat Islam wajib menjadikan media sosial sebagai sarana mempererat persaudaraan (ukhuwwah), baik persaudaraan ke-Islaman (ukhuwwah Islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah), maupun persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah).


Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa informasi yang berasal dari media sosial memiliki dua kemungkinan yakni benar dan salah. Informasi yang baik di media sosial juga belum tentu benar, benar belum tentu bermanfaat, dan bermanfaat belum tentu cocok untuk disampaikan ke ranah publik.
 

Oleh karenanya siapapun yang memperoleh informasi melalui media sosial tidak boleh langsung menyebarkannya sebelum diverifikasi dan dilakukan proses tabayyun serta memastikan azas manfaatannya.


Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Aryudi AR