Daerah

Beda Hari Idul Adha, Masyarakat Harus Saling Menghargai

NU Online  ·  Jumat, 3 Oktober 2014 | 03:05 WIB

Bandung, NU Online
Wakil Ketua PWNU Jawa Barat Prof KH Rosihon Anwar menganggap perbedaan pendapat sebagai kewajaran. Umat Islam di Indonesia sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat termasuk penentuan peringatan hari Idul Adha 1435 H.
<>
Pemerintah, menurutnya, boleh menetapkan kebijakan hari raya, tetapi tidak boleh memaksakan kelompok tertentu untuk mengikuti Pemerintah.

“Ini termasuk kebebasan dalam berkeyakinan,” terangnya kepada NU Online, Rabu (1/10).

Kiai Rosihon memandang, semuanya tidak harus sama. Pada saatnya nanti persamaan akan ketemu pada sisi-sisi lainnya.

Masyarakat bisa berseragam dalam memajukan nilai-nilai kebangsaan, memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, hak-hak minoritas yang tertindas. “Saya kira persoalan ini bisa seragam,” lanjut Dekan fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung itu.

Toleransi agama tidak hanya berlaku untuk perbedaan agama. Toleransi terhadap pelbagai mazhab di dalam sebuah agama juga perlu dikedepankan.

Yang perlu diperhatikan justru subtansi dari Idul Adha, yakni teladan dari keluarga Nabi Ibrahim. Seorang pemimpin mengambil keteladanan dari Nabi Ibrahim, teguh dalam beragama, demokratis, dan tegas.

Perempuan dapat mengambil keteladanan dari Siti Sarah dan Siti Hajar. Sementara kaum muda meneladani Nabi Ismail. “Jadi, Idul Adha adalah meneladani figur-figur tersebut,” pungkasnya. (M Zidni Nafi’/Alhafiz K)