Alumni Sudan Gagas Madrasah Berbasis Kebudayaan di Nganjuk
NU Online · Senin, 16 September 2019 | 11:00 WIB
Melalui Mojo, para santri dididik tidak hanya memahami disiplin keilmuan Islam, namun juga menghayati nilai-nilai kebudayaan. Hal itu diwujudkan dengan penerapan secara ketat tata krama jawa di dalam kehidupan sehari-hari di madrasah sebagai nilai etika pergaulan dan estetika berbusana menggunakan pakaian tradisi jawa. Setiap santri Madrasah diwajibkan menggunakan sarung batik, berbaju koko dan menutup kepala dengan blangkon.
"Ini sebenarnya bukan perkara baru. Tugas saya ketika pulang dari Sudan adalah bermanfaat bagi masyarakat. Saya hanya melanjutkan apa yang baik menurut agama dan budaya jawa," tutur Gus Tajul Mafachir, pimpinan madrasah yang saat ini menampung kurang lebih 50 santri.
Baginya, sosok yang menginspirasinya adalah KH Hasan Besari yang tidak lain adalah pelopor berdirinya Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo yang menurut sejarawan merupakan pesantren tertua di Jawa. Tokoh lainnya, KH Abu Mansyur Tawangsari Tulungagung (putra Amangkurat IV) yang meninggalkan banyak metode dan seni berdakwah di tengah masyarakat awam.
Selain mengelola pondok dan madrasah, Gus Tajul Mafachir juga berkhidmah mengaji secara rutin dari satu mushala ke masjid, dari satu majlis taklim dan dzikir bersama masyarakat desa.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
2
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
3
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
4
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua