Assalamu'alaikum. Saya mau bertanya, jika seseorang meninggal dunia dan telah meninggalkan urusan utang piutang yang terjadi pada masa lalu, apakah ahli warisnya melunasi utang itu dengan harga masa lalu atau pada saat ini, karena harga masa lalu dengan masa kini jelas berbeda.
Misalnya dulu 30 tahun yang lalu si mayit pernah berutang Rp. 1000 tapi sekarang ahli warisnya melunasi sama dengan nominalnya dulu saat berutang atau seharga pada masa kini? Atau kalau barang harga dulu atau harga sekarang? Maturnuwun. (Ibadul Ghofur)
Jawaban
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Pada prinsipnya utang haruslah dibayar. Sekalipun utang sudah lama, ia tetap harus dibayar. Sedang jika ada orang yang meninggal dunia dan tidak memiliki tirkah maka tidak ada kewajiban bagi ahli warisnya untuk membayar utang tersebut. Namun jika ahli waris bersedia membayar atau menanggung hutannya maka itu sangat dianjurkan karena termasuk perbuatan terpuji.
Dalam soal utang, jika si pengutang ternyata belum bisa membayar utangnya pada waktu yang telah ditentukan maka ia sebaiknya bicara kepada pihak yang mengutangi. Dan pihak yang memberi utang hendaknya memberikan tenggang waktu kepada si pengutang.
Namun persoalannya ternyata tidak cukup sampai disini, sebab utang yang harus dilunasi ternyata sudah sangat lama. Misalnya, utang uang sebesar Rp. 1000, sebagaimana dicontohkan di atas sudah tigapuluh tahun, sedang nilai Rp. 1000 tigapuluh tahun bisa jadi sama dengan Rp. 100.000 sekarang mengingat adanya fluktuasi dan perubahan nilai. Dalam kasus ini apakah utang yang harus dibayar sesuai dengan nominalnya yaitu Rp. 1.000 ataukah mengikuti nilainya pada saat utang itu dibayar.
Prinsip dasar dalam membayar utang itu sesuai nominal yang diutang bukan dengan nilainya. Ini artinya orang yang berutang harus membayar sesuai dengan jumlah hutannya, bukan dengan nilainya. Jadi, jika ia berutang Rp. 1000 maka ia harus mengembalikan Rp. 1000 meskipun nilai Rp. 1000 pada saat berutang berbeda pada saat membayarnya. Hal ini didasarkan kepada penjelasan dibawah ini:
وَيَجِبُ عَلَى الْمُسْتَقْرِضِ رَدُّ الْمِثْلِ فِيمَا لَهُ مِثْلٌ لِأَنَّ مُقْتَضَى الْقَرْضِ رَدُّ الْمِثْلِ
“Wajib atas orang yang berutang untuk mengembalikan hutannya dengan yang sepadan (al-mitsl) karena utang menuntut pengembalian yang sepadan” (Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh asy-Syafi’i, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 2, h. 304)
Pandangan di atas juga diteguhakan oleh Majma` al-Fiqh al-Islami pada pertemuan ke-5 di Kuwait bulan Jumada al-Ula 1409 H/Desember 1988 M.
اَلْعِبْرَةُ فِي وَفَاءِ الدُّيُونِ الثَّابِتَةِ بِعُمْلَةِ مَا هِيَ بِالْمِثْلِ وَلَيْسَ بِالْقِيمَةِ، لِأَنَّ الدُّيُونَ تُقْضَى بِأَمْثَالِهَا، فَلَا يَجُوزُ رَبْطُ الدُّيُونِ الثَّابِتَةِ فِي الذِّمَّةِ، أيًّا كَانَ مَصْدَرُهَا، بِمُسْتَوَى الأَسْعَارِ
“Yang menjadi patokan dalam membayar utang yang telah ditetapkan dengan uang apa saja adalah membayar dengan yang sepadan (nominalnya) bukan dengan nilainya (al-qimah). Karena utang mengharuskan dibayar dengan yang sepadannya. Maka tidak boleh mengaitkan utang yang ada dalam tanggungan, apapun sumbernya, dengan mengikuti tingkat harga (nilainya)”. (Lihat Wahbah az-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-6, 1429 H/2008 M, h. 53)
Penjelasan singkat ini jika ditarik ke dalam konteks pertanyaan di atas maka ahli waris yang menanggung utang si mayyit hanya membayar nominal utangnya saja atau mitsl bukan nilainya atau qimah. Jadi, jika si mayyit utangnya Rp. 1000 maka yang harus dibayar oleh pihak yang menanggung yang dalam hal ini adalah ahli waris, adalah sesuai nominalnya yaitu Rp. 1000.
Namun masalahnya uang 1.000 saat ini mungkin tidak bernilai, berbeda dengan tigapuluh tahun yang lalu pada saat transaksi utang itu terjadi. Dalam hal ini ada pendapat lain mengatakan:
إذَا غَلَتْ الْفُلُوسُ قَبْلَ الْقَبْضِ أَوْ رَخُصَتْ .قَالَ : أَبُو يُوسُفَ ، قَوْلِي وَقَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ فِي ذَلِكَ سَوَاءٌ وَلَيْسَ لَهُ غَيْرُهَا ، ثُمَّ رَجَعَ أَبُو يُوسُفَ وَقَالَ : عَلَيْهِ قِيمَتُهَا مِنْ الدَّرَاهِمِ ، يَوْمَ وَقَعَ الْبَيْعُ وَيَوْمَ وَقَعَ الْقَبْضُ
“Ketika nilai uang kertas menguat atau melemah sebelum jatuhnya masa pembayaran utang. Dalam hal Abu Yusuf berkata, pendapatku dan dan pendapat Imam Abu Hanifah adalah sama, ia hanya membayar nominal uang pada saat pembayarannya. Kemudian Abu Yusuf menarik pendapatnya, dan mengatakan, ia wajib membayar nilainya uang tersebut senilai dirham pada hari terjadi transaksi jual-beli dan pada hari pembayaran utangnya” (Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar, Bairut-Dar al-Fikr, 1421 H/2000 M, juz, 4, h. 534)
Saran kami, penyelesaian bisa dilakukan dengan prinsip musyawarah atau sulh atau dalam bahasa ekonominya disebut arbitrase. Besaran utang yang harus dibayar bisa disepakati dengan pihak yang memberi utang.
Prinsipnya, para ulama fikih umumnya berpendapat bahwa utang uang dibayar sesuai nominal tempo dulu. Namun pihak ahli waris lebih baik membayarkan utang itu dengan nominal yang pantas sesuai dengan perkiraan perubahan nilai uang saat ini.
Sebaliknya, jika utang itu dalam bentuk barang, bisa dipastikan membayarnya pun juga dengan barang. Namun terkait perubahan nilai barang antara dulu dengan sekarang lebih baik dibicarakan antara kedua belah pihak.
Sekali lagi lebih baik ditempuh dengan jalan musyawarah, dan jangan lupa minta diikhlaskan kepada pihak yang memberi utang atau keluarganya agar si mayyit tenang dan bebas tanggungan di akhirat sana.
Tidak lupa kami juga mengingatkan agar kita buru-buru menyelesaikan akad utang kita jika sudah mampu untuk membayar agar tidak menjadi persoalan dan beban ahli waris di masa yang akan datang.
Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. (Mahbub Ma’afi Ramdlan)
Terpopuler
1
Isi Akhir dan Awal Tahun Baru Hijriah dengan Baca Doa Ini
2
Data Awal Muharram 1447 H, Hilal Masih di Bawah Ufuk
3
Trump Meradang Usai Israel-Iran Tak Gubris Seruan Gencatan Senjata
4
Pengumuman Hasil Seleksi Wawancara Beasiswa PBNU ke Maroko 2025, Cek di Sini
5
Istikmal, LF PBNU Umumkan Tahun Baru 1447 Hijriah Jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025
6
Menlu Iran ke Rusia, Putin Dukung Upaya Diplomasi
Terkini
Lihat Semua