Di dalam lingkungan saya, terbentuk komunitas remaja/muda-mudi yang salah satu anggotanya non-Muslim. Karena tidak ada tempat yang baik untuk menampung kegiatan rapat, maka kami memanfaatkan area di dalam masjid yang tidak terpakai sebagai area untuk komunitas remaja tersebut berdiskusi dan menyusun program kerja. Pertanyaannya, apakah remaja non-Muslim anggota komunitas remaja tersebut bisa masuk ke area rapat tersebut? Mohon pencerahannya. Wassalamu 'alakum Wr Wb. (Triharso).
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Pertama sekali yang perlu dikemukakan di sini adalah bahwa ulama berbeda pendapat kebolehan masuk non-Muslim ke dalam masjid.
Perbedaan pendapat ulama perihal ini berangkat dari perbedaan pemahaman mereka atas Surat At-Taubah ayat 28 berikut ini:
Artinya, “Wahai orang yang beriman, sungguh orang musyrik itu najis. Janganlah mereka memasuki masjidil haram setelah tahun ini,” (At-Taubah ayat 28).
Dari ayat ini, lahir pelbagai pandangan ulama perihal masuknya non-Muslim ke dalam tanah haram, masjidil haram, dan masjid selain masjidil haram, dengan atau tanpa izin umat Islam, dan dengan atau tanpa keperluan.
Madzhab Hanafi mengikuti pandangan Abu Hanifah yang membolehkan orang kafir, orang musyrik, atau non-Muslim untuk masuk ke dalam masjid termasuk ke dalam masjidil haram.
Berikut ini pemahaman Abu Hanifah terkait Surat At-Taubah ayat 28:
Artinya, “Abu Hanifah membolehkan orang kafir masuk masjid mana saja, termasuk masjidil haram tanpa izin dan tanpa keperluan sekalipun. Sedangkan pengertian ayat, ‘Jangan mereka memasuki masjidil haram setelah tahun ini,’ (At-Taubah ayat 28) menurut Abu Hanifah, adalah larangan untuk berhaji dan umrah dengan telanjang setelah tahun ini, yaitu tahun 9 H ketika ia memerintahkan Abu Bakar As-Shiddiq dan Sayyidina Ali menyeru dengan surat ini, ‘Setelah tahun ini tidak boleh lagi ada orang musyrik melaksanakan haji dan tidak boleh ada lagi orang telanjang berthawaf,’ (HR Bukhari dan Muslim). Abu Sufyan sendiri pernah memasuki masjid Madinah untuk memerbaharui kontrak perdamaian Hudaibiyah setelah dilanggar oleh Quraisy. Demikian juga rombongan tamu dari Bani Tsaqif pernah memasuki masjid Madinah. Tsamamah bin Atsal ketika dalam kondisi tawanan diikat di masjid nabawi,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 3, halaman 582).
Sementara Madzhab Maliki membolehkan non-Muslim untuk memasuki tanah haram kecuali masjidil haram dengan izin umat Islam dan dengan aman. Tetapi Madzhab Malik mengharamkan non-Muslim untuk masuk ke dalam masjid manapun kecuali ada uzur tertentu.
Sedangkan Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali mengharamkan sama sekali non-Muslim untuk masuk ke dalam masjidil haram meskipun untuk kemaslahatan tertentu. Hanya saja non-Muslim–menurut mereka–boleh memasuki masjid lain untuk sebuah hajat tertentu dengan izin umat Islam sebagaimana keterangan berikut ini:
Artinya, “Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali berpendapat bahwa non-Muslim sekalipun untuk sebuah kemaslahatan dilarang untuk memasuki tanah haram Mekah berdasarkan firman Allah, ‘Wahai orang yang beriman, sungguh orang musyrik itu najis. Janganlah mereka memasuki masjidil haram setelah tahun ini,’ (At-Taubah ayat 28). Di dalam atsar disebutkan, ‘Tanah haram seluruhnya adalah masjid.’ Menurut ulama dari dua madzhab ini, orang kafir boleh masuk masjid dengan izin umat Islam karena suatu keperluan kecuali masjidil haram. Pasalnya, teks ayat tersebut hanya menyinggung masjidil haram. Hal ini juga sesuai kaidah bahwa pada asalnya segala sesuatu adalah boleh. Di dalam syariat sendiri tidak ada dalil yang mengalahi hukum asal ini. Rasulullah SAW sendiri–ketika didatangi oleh rombongan kunjungan dari Thaif–menempatkan tamunya di masjid tersebut sebelum mereka memeluk Islam. Sa‘id Ibnul Musayyab mengatakan, Abu Sufyan pernah memasuki masjid Madinah ketika masih menjadi seorang musyrik. Ketika Rasulullah sedang berada di dalam masjid, ‘Umair bin Wahb pernah datang lalu memasukinya untuk membunuh Rasul. Tetapi Allah menganugerahkan Islam kepadanya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 3, halaman 583).
Dari pelbagai keterangan ini, kita dapat mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat perihal masuknya non-Muslim ke masjid selain masjidil haram. Ulama memiliki cara pandang yang khas atas Surat At-Taubah ayat 28 dan sejumlah riwayat hadits sehingga melahirkan perbedaan pendapat perihal ini.
Adapun terkait masuknya remaja non-Muslim ke dalam sebuah area di dalam masjid untuk merapatkan agenda tertentu, masalah ini perlu merujuk pada tradisi dan kesepakatan sosial setempat atau setidaknya izin pengurus masjid dengan catatan pengurus masjid mengerti perbedaan pandangan di kalangan ulama.
Demikian jawaban kami, semoga dipahami dengan baik. Demikian jawaban singkat ini. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
(Alhafiz Kurniawan)
Terpopuler
1
Gus Baha Jelaskan Alasan Mukjizat Nabi Muhammad Tak Seperti Nabi Sebelumnya
2
Khutbah Jumat: Keistimewaan Umat Nabi Muhammad
3
Khutbah Jumat: Meraih Berkah dan Syafaat dengan Shalawat
4
Khutbah Jumat: Rabiul Awal, Maulid, dan Keutamaan Membaca Shalawat
5
Harlah Ke-95, LP Ma’arif NU akan Wujudkan Visi Pendidikan Bereputasi Internasional
6
Kemenag Umumkan Hasil Seleksi Administrasi CPNS 2024 Malam Ini, Berikut Cara Ceknya
Terkini
Lihat Semua