Bahtsul Masail

Hukum Calon Suami Mewakilkan Akad Nikah karena Positif Covid-19

Sel, 3 Agustus 2021 | 23:00 WIB

Hukum Calon Suami Mewakilkan Akad Nikah karena Positif Covid-19

Ilustrasi Akad Nikah. (Foto: via bergaya.id)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Redaksi NU Online, di tengah pandemi Covid-19 kebetulan saya hendak melangsungkan akad nikah. Mengingat dari KUA ada syarat atau kewajiban tes rapid antigen untuk kedua calon mempelai, wali dan dua saksi pada H-1 atau sehari sebelum hari akad nikah, saya khawatir hasilnya positif, sehingga saya tidak dapat melangsungkan akad nikah yang telah direncanakan secara matang oleh keluarga besar. 


Karena itu, untuk jaga-jaga, saya mohon penjelasan hukum, apakah seorang calon suami boleh mewakilkan akad nikahnya kepada orang lain karena halangan seperti positif Covid-19, sebagaimana wali perempuan boleh menunjuk wakil untuk menikahkan anaknya? Bila boleh, bagaimana caranya? (Masdiq/Jawa Tengah) 


Jawaban

Penanya dan pembaca yang budiman, semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. 


Akad nikah merupakan salah satu dari berbagai akad yang boleh diwakilkan kepada orang lain. Sebagaimana wali nikah boleh menunjuk wakil untuk menikahkan anaknya, karena tabarruk (mengharap berkah)  dengan orang saleh, kiai, dan semisalnya, demikian pula calon suami boleh mewakilkan akad nikahnya kepada orang lain. 


Kebolehan tersebut bukan karena halangan tertentu yang menyebabkannya tidak dapat menghadiri akad nikah, seperti sakit, positif Covid-19 dan semisalnya, tetapi memang boleh sejak dari hukum asalnya, baik karena suatu halangan atau tidak. Dalam hal ini, Syekh Zainuddin al-Malibari menjelaskan:


(تَصِحُّ وَكَالَةُ) شَخْصٍ مُتَمَكِّنٍ لِنَفْسِهِ وَهِيَ تَفْوِيضُ شَخْصٍ أَمْرَهُ إِلَى آخَرَ فِيمَا يَقْبَلُ النِّيَابَةَ لِيَفْعَلَهُ فِي حَيَاتِهِ، فَتَصِحُّ (فِي كُلِّ عَقْدٍ) كَبَيْعٍ وَنِكَاحٍ وَهِبَّةٍ وَرَهْنٍ وَطَلَاقٍ مُنْجِزٍ


“Sah menunjuk wakil kepada orang yang secara syariat boleh melakukan sesuatu yang diwakilkan kepadanya untuk dirinya sendiri. Adapun definisi wakâlah (perwakilan) adalah penyerahan yang dilakukan oleh seseorang atas urusannya kepada orang lain dalam urusan yang boleh digantikan atau dilakukan oleh orang lain, agar orang yang ditunjuk sebagai wakil melakukan hal tersebut semasa hidup orang yang menunjuknya. Sebab itu sah menunjuk wakil dalam setiap akad, seperti jual beli, nikah, hibah, gadai dan talak yang diarahkan pada perempuan tertentu. (Zainuddin bin Abdil Aziz al-Malibari, Fathul Mu’în pada Hâsyiyyah I’ânatut Thâlibîn, [Indonesia, al-Haramain], juz III, halaman 84-85).


Bahkan Nabi Muhammad saw sendiri pernah melakukannya, yaitu saat beliau mewakilkan pernikahannya dengan Ummu Habibah ra kepada ‘Amru bin Umayyah ad-Dhamri ra, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Ishaq as-Syirazi:


وَيَجُوزُ التَّوْكِيلُ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَلَّ عَمْرَو بْنَ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيَّ فِي نِكَاحِ أُمِّ حَبِيبَةَ


“Boleh menunjuk wakil dalam akad nikah, karena diriwayatkan bahwa Nabi saw pun pernah menunjuk ‘Amru bin Umayyah ad-Dhamri ra sebagai wakilnya untuk menerima akad nikah Ummu Habibah ra.” (Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf as-Syirazi, al-Muhaddzab fî Fiqhil Imâmis Syâfi’i, [Beirut], juz I, halaman 348).


Tata Cara Calon Suami Mewakilkan Akad Nikah


Adapun cara calon suami mewakilkan akad nikahnya adalah dengan tiga langkah sebagai berikut: 


Langkah pertama, calon suami menunjuk orang yang secara hukum fiqih memenuhi syarat menjadi wakilnya, yaitu orang yang ditunjuk sebagai wakil secara fiqih boleh melakukan akad nikah tersebut untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini, lebih baik menunjuk orang yang saleh, semisal seorang kiai yang paham tentang berbagai hukum pernikahan sekaligus tabarruk kepadanya. 


Langkah kedua, perwakilan tersebut dilakukan dengan akad yang jelas, semisal calon suami berkata: “Saya tunjuk Anda sebagai wakil saya untuk menerima nikah Si Fulanah binti Fulan untuk saya”. Bila menggunakan bahasa Arab, maka calon suami dapat mengucapkan lafal sebagai berikut:


وَكَّلْتُكَ فِي قَبُولِ نِكَاحِ فُلَانَةٍ بِنْتِ فُلَانٍ لِي


Wakkaltuka fî qabûli nikâhi Fulânatin binti Fulan li.


Langkah ketiga, orang yang ditunjuk sebagai wakil menjawab: “Saya terima penunjukan wakil darimu kepadaku untuk menerima nikahnya Si Fulanah binti Fulan untuk Anda.” Bila menghendaki menggunakan bahasa Arab maka dapat diucapkan dengan lafal sebagai berikut:

 

 

قَبِلْتُ تَوْكِيلَكَ إِيَّايَ فِي قَبُولِ نِكَاحِ فُلَانَةٍ بِنْتِ فُلَانٍ لَكَ 

 


Qabiltu taukîlaka iyyâya fi qabuli nikâhi Fulânah binti Fulânin laka. 


Tata Cara Wakil Calon Suami Menerima Akad Nikah


Bila calon suami benar-benar mewakilkan akad nikahnya kepada orang lain, maka akad nikahnya juga harus disesuaikan, agar sah dan tepat sasaran. Karenanya, wali calon istri dalam akad nikah harus mengarahkan akad nikahnya untuk calon suami, bukan untuk wakilnya. Dalam hal ini, semisal ia dapat berkata: “Saya nikahkan dan saya kawinkan orang yang menunjukmu sebagai wakil, yaitu Si Fulan bin Fulan, dengan anaku Fulanah dengan mahar … (sekian) dibayar tunai.” Bila menggunakan bahasa Arab maka diucapkan:


أَنْكَحْتُ وَزَوَّجْتُ مُوَكِّلَكَ فُلَانَ بْنَ فُلَانٍ بِبِنْتِيْ فُلَانَةٍ بِمَهْرِ ... حَالًا


Ankahtu wa zawwajtu muwakkilaka Fulânabna Fulânin bibintî Fulânatin bimahri … hâlan.


Lalu wakil calon suami segera menjawab: “Saya terima nikah dan kawinnya (Si Fulanah binti Fulan) untuk orang yang menunjuk saya sebagai wakilnya, yaitu si Fulan bin Fulan, dengan mahar tersebut dibayar tunai.” Bila menghendaki menggunakan bahasa Arab maka diucapkan:


قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيجَهَا لِمُوَكِّلِي فُلَانِ بْنِ فُلَانٍ بِالْمَهْرِ الْمَذْكُورِ حَالًا


Qabiltu nikâhahâ wa tazwîjahâ li muwakkilî Fulânibni Fulânim bilmahril madzkûri hâlan.


Dengan tata cara seperti itu, pernikahan tersebut menjadi sah dan tepat sasaran untuk calon suami tersebut. Semoga pernikahan yang akan dilangsungkan menjadi pernikahan yang penuh berkah dan keluarga yang dibentuk dapat menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Amin. (Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyyatul Bâjûri ‘alâ Ibni Qâsimil Ghâzi, [Semarang, Thoha Putra], juz I, halaman 386).


Demikian jawaban kami, semoga dapat dipahami secara baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca. Wallâhu a’lam. Wallâhul muwaffiq ilâ aqwamith thâriq. Wassalamu ’alaikum wr. wb. 


Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda