Bahtsul Masail

Bisakah Sila Pertama Pancasila Disamakan dengan Tauhid?

Sen, 24 Mei 2021 | 22:30 WIB

Bisakah Sila Pertama Pancasila Disamakan dengan Tauhid?

penempatan Pancasila harus proporsional. Oleh karenanya, dibutuhkan pemahaman yang klir dalam masalah ini.

Assalamu 'alaikum wr. wb.

Redaksi NU Online, diskusi Pancasila dan agama belum juga selesai di masyarakat. Diskusi seputar ini kadang menghadap-hadapkan Pancasila dan agama. Misalnya, apakah sila pertama Pancasila dapat dianggap sama dengan ketauhidan dalam Islam. Kami mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (hamba Allah/Surabaya)


Jawaban

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.


Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Terkait tema ini, kami hanya akan mengutip pandangan Rais Aam PBNU (1984-1991) KH Ahmad Siddiq dan putusan Munas NU 1983.


Menurut Kiai Ahmad Siddiq, penempatan Pancasila harus proporsional. Oleh karenanya, dibutuhkan pemahaman yang klir dalam masalah ini.


Sikap terhadap Pancasila dalam hubungannya dengan agama memang memerlukan kejelasan dan kejernihan supaya tidak terperangkap dalam pengambilan sikap yang tidak proporsional. (Lihat KH Ahmad Siddiq, Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926 dalam Pemikiran KH Ahmad Siddiq, [Jakarta, Duta Aksara Mulia: 2010 M], halaman 71).


Pancasila harus dipahami sebagai nilai-nilai luhur yang dirumuskan sebagai dasar negara. Sedangkan agama Islam adalah wadh’un ilahiyun atau nilai-nilai ilahi yang berasal dari langit. Dengan demikian Pancasila tidak setingkat dengan agama. Tetapi nilai-nilai dalam Pancasila dapat dibenarkan menurut pandangan Islam.


Pancasila sebagai dasar negara dan agama Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang yang lain.


“Ajakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah itu patut dipahami secara wajar dan proporsional oleh semua pihak... agama bagi semua pemeluk agama adalah sesuatu yang sangat prinsipil. Pemerintah selalu menegaskan tidak akan meng-agama-kan Pancasila dan tidak mem-Pancasila-kan agama. Dengan perkataan lain, bahwa ber-Pancasila tidak harus dilakukan dengan mengesampingkan agama dan sebaliknya, bahwa beragama tidak harus dilakukan dengan mengesampingkan Pancasila.” (Lihat KH Ahmad Siddiq, 2010 M: 75-76).


Menurut Kiai Ahmad Siddiq, Nahdlatul Ulama (umat Islam) menanggapi ajakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah dengan pertimbangan: (a) bahwa pemerintah–dengan ajakannya itu–tidak berarti mengajak Nahdlatul Ulama menerima asas tunggal Pancasila dengan sekaligus mengesampingkan Islam. (b) bahwa Nahdlatul Ulama menerima Pancasila berdasarkan pandangan syariah, bukan semata-mata berdasarkan pandangan politik. (c) bahwa Nahdlatul Ulama tetap berpegang sepenuhnya kepada ajaran aqidah dan syariah Islam. (Lihat KH Ahmad Siddiq, 2010 M: 76).


Adapun berikut ini adalah Deklarasi Pancasila pada Munas Alim-Ulama NU pada akhir 21 Desember 1983 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Situbondo. Deklarasi ini berisi tentang hubungan Pancasila dan Islam.


1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.


2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945–yang menjiwai sila-sila yang lain–mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.


3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.


4. Penerima dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.


5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.


Putusan ini merupakan hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama Sukorejo, Situbondo 16 Rabi’ul Awwal 1404 H (21 Desember 1983). (Lihat Abdul Mun’im DZ (Editor), Piagam Perjuangan Kebangsaan, [Jakarta, Setjen PBNU-NU Online: 2011]).


Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.


Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Alhafiz Kurniawan)