Bahtsul Masail

Hukum Membaca Al-Qur’an di Tengah Orang Shalat

Sen, 3 Mei 2021 | 19:45 WIB

Hukum Membaca Al-Qur’an di Tengah Orang Shalat

Tadarus Al-Qur’an secara jahr perlu mempertimbangkan situasi, setidaknya melihat kanan-kiri.

Assalamu 'alaikum wr. wb.

Redaksi NU Online, masjid pada bulan ramadhan menjadi ramai dengan aktivitas tadarus Al-Qur’an. Kadang sebagian orang membacanya dengan pengeras suara di waktu senggang. Pertanyaannya, apakah hukum tadarus dengan suara lantang (jahr) di tengah orang yang melakukan shalat? Mengingat ada juga orang yang mengerjakan shalat tidak di awal waktu karena baru sempat. Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb (Faisal/Jakarta Pusat)


Jawaban

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.


Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Pada prinsipnya kita memang dianjurkan untuk membaca Al-Qur’an secara lantang (jahr). Anjuran ini berlaku di dalam bulan Ramadhan dan di luar bulan Ramadhan, baik di masjid maupun di selain masjid.


Namun demikian, tadarus Al-Qur’an secara jahr perlu mempertimbangkan situasi, setidaknya melihat kanan-kiri. Hal ini perlu dilakukan untuk memeriksa apakah ada potensi yang dapat mengganggu orang di sekitar kita seperti orang shalat yang memerlukan konsentrasi, orang istirahat yang membutuhkan ketenangan, atau orang sakit yang memerlukan istirahat.


Jika tadarus kita berpotensi mengganggu orang di sekitar kita, sebaiknya kita dapat mengecilkan suara ketika membaca Al-Qur’an. Sedangkan aktivitas apapun (termasuk tadarus) yang menggangu orang shalat dan sejenisnya terbilang perbuatan terlarang.


لا يكره في المسجد الجهر بالذكر بأنواعه ، ومنه قراءة القرآن إلا إن شوّش على مصلّ أو أذى نائماً ، بل إن كثر التأذي حرم فيمنع منه حينئذ ، كما لو جلس بعد الأذان يذكر الله تعالى ، وكل من أتى للصلاة جلس معه وشوّش على المصلين ، فإن لم يكن ثم تشويش أبيح بل ندب لنحو تعليم إن لم يخف رياء 


Artinya, “Zikir dan sejenisnya antara lain membaca Al-Quran dengan lantang di masjid tidak makruh kecuali jika menggangu konsentrasi orang yang sedang sembahyang atau mengusik orang yang sedang tidur. Tetapi jika bacaan Al-Quran dengan lantang itu lebih banyak mengganggu (menyakiti orang lain), maka saat itu bacaan Al-Quran dengan lantang mesti dihentikan. Sama halnya adengan orang yang duduk setelah azan dan berzikir. Demikian halnya dengan setiap orang yang datang untuk shalat ke masjid, lalu duduk bersamanya, kemudian mengganggu konsentrasi orang yang sedang sembahyang. Kalau di sana tidak memunculkan suara yang mengganggu, maka zikir atau tadarus Al-Quran itu itu hukumnya mubah bahkan dianjurkan untuk kepentingan seperti taklim jika tidak dikhawatirkan riya,” (Lihat Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Fikr, 1994 M/1414 H], halaman 108).


Pandangan Sayyid Abdurrahman Ba’alawi tidak lain merupakan turunan dari hadits riwayat Abu Dawud, An-Nasa’i, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Abdur Razaq, dan Al-Baihaqi yang dikutip Imam Badruddin Az-Zarkasyi sebagai berikut:


نعم من قرأ والناس يصلون فليس له أن يجهر جهرا يشغلهم به فإن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خرج على أصحابه وهم يصلون في المسجد فقال: "يأيها الناس كلكم يناجي ربه فلا يجهر بعضكم على بعض في القراءة"


Artinya, “Tapi siapa saja yang membaca Al-Qur’an ketika orang lain sedang melakukan shalat, maka ia tidak boleh membacanya dengan jahr yang dapat membuat mereka bimbang karenanya. Nabi Muhammad SAW suatu hari keluar menemui sahabatnya yang (sebagian sedang) melakukan shalat di masjid. Rasulullah SAW menyeru, ‘Wahai sekalian manusia, setiap kalian bermunajat dengan Tuhannya. Oleh karenanya, jangan sebagian kalian melantangkan bacaan atas sebagian yang lain,’ (HR Abu Dawud, An-Nasa’i, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Abdur Razaq, dan Al-Baihaqi),” (Badruddin Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulumil Qur’an, [Kairo, Darul Hadis: 2018 M/1440 H], halaman 311).


Jalaluddin As-Suyuthi menyebutkan riwayat Abu Dawud dari Abu Sa’id RA bahwa Nabi Muhammad SAW sedang beritikaf di masjid. Dalam pada itu Rasulullah SAW mendengar sebagian sahabat membaca Al-Qur’an dengan jahr. Rasulullah menyingkap tirai kemudian menyeru sebagaimana hadits yang dikutip Az-Zarkasyi sebelumnya. (As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, [Kairo, Darul Hadits: 2006 M/1427 H], juz I, halaman 316).


Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.


Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Alhafiz Kurniawan)