Bahtsul Masail

Bolehkah Pemerintah Melarang Pasien Covid-19 Hadiri Shalat Jumat dan Keramaian Umum? 

Kam, 19 Maret 2020 | 04:00 WIB

Bolehkah Pemerintah Melarang Pasien Covid-19 Hadiri Shalat Jumat dan Keramaian Umum? 

Pemerintah berhak melarang perkumpulan-perjumpaan yang melibatkan banyak orang dalam kontak langsung. (Ilustrasi: pixabay)

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online, pemerintah dituntut untuk melakukan berbagai upaya untuk meredakan dan mencegah penyebaran virus corona yang melanda dunia 2020 ini melalui antara lain social distancing atau jaga jarak. Pertanyaannya kemudian, apakah pemerintah berhak mencegah warga yang teridentivikasi korban virus Covid-19 dari ibadah wajib seperti shalat Jumat yang melibatkan banyak orang? Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Bagus/Yogyakarta)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Pemerintah berkewajiban untuk membasmi dan mencegah penyebaran virus corona yang sangat cepat melalui kontak langsung. Pemerintah bila perlu dapat menempuh kebijakan lockdown karena korban meninggal semakin meningkat dan semakin tidak terkendali.

Pemerintah juga perlu mendorong social distancing atau jaga jarak antarindividu sebagai salah satu bentuk pencegahan penyebaran virus paling efektif. Pemerintah berhak melarang perkumpulan-perjumpaan yang melibatkan banyak orang dalam kontak langsung.
 

Dalam situasi darurat penyebaran virus, pemerintah dituntut untuk mencegah sedapat mungkin warga yang jelas teridentifikasi mengidap penyakit menular melalui kontak langsung, seperti pasien Covid-19, penderita kusta, pengidap lepra, untuk hadir dalam keramaian, yaitu masjid, pasar, pusat perbelanjaan, ibadah Jumat, shalat berjamaah, tempat wisata, dan tempat umum lainnya.

وبرص وجذام يندب للإمام منع صاحبهما من المسجد ومخالطة الناس والجمعة والجماعات

Artinya, “Adapun terkait pengidap kusta dan lepra, pemerintah dianjurkan untuk mencegah keduanya untuk hadir di masjid, kontak langsung dengan orang lain (apalagi keramaian), ibadah jumat, dan shalat jamaah,” (Syihabuddin Al-Qalyubi, Hasyiyah Qaliyubi wa Umairah, [Kairo, Al-Masyhad Al-Husaini: tanpa tahun], juz I, halaman 228).

Tuntutan terhadap pemerintah ini dimaksudkan untuk membatasi dan mencegah penyebaran dan penularan penyakit kusta dan lepra. Hal demikian juga berlaku bagi pasien Covid-19 yang mewabah awal tahun 2020 ini di Indonesia dan berbagai negara lain.

Menurut hemat kami, pemerintah juga harus memfasilitasi pemeriksaan massal warga untuk mendeteksi serangan Covid-19. Tampaknya, ini yang belum dilakukan. Pasalnya, pemeriksaan ini akan memperjelas siapa pasien Covid-19 yang butuh penanganan medis yang memadai dan siapa warga yang steril terbebas Covid-19 untuk tetap melangsungkan Jumat.
 

Namun demikian, pemerintah dalam menghadapi bahaya nasional penyebaran Covid-19–bila penyebaran virus tidak terkendali–dapat mencabut izin pelaksanaan ibadah Jumat yang melibatkan pertemuan banyak orang untuk sementara waktu sebagaimana pandangan Mazhab Hanafi.

نعم يشترط عنده إذن السلطان في إقامتها…قوله (ولا يشترط عندنا إذن السلطان) عبارة الروض وشرحه ولا يشترط حضور السلطان الجمعة ولا إذنه فيها كسائر العبادات لكن يستحب استئذانه فيها اه 

Artinya, “Tetapi menurut Imam Abu Hanifah, izin pemerintah menjadi syarat dalam pelaksanaan ibadah Jumat… (menurut kami Mazhab Syafi’i, izin pemerintah bukan syarat) seperti ungkapan Raudhatut Thalib dan syarahnya. Kehadiran pemerintah dan izinnya bukan syarat pelaksanaan Jumat sebagaimana ibadah lainnya. Tetapi (kita mazhab Syafi’i) dianjurkan untuk meminta izin pemerintah dalam pelaksanaan Jumat (untuk menghindari fitnah dan keluar dari ikhtilaf ulama).” (Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I'anatut Thalibin, [Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah, tanpa tahun], juz II, halaman 58).
 

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
 

(Alhafiz Kurniawan)