Rembang, NU Online
Pertemuan Kiai NU se-Jawa bertajuk “Silaturrahim dengan Rais Aam PBNU dan Doa Bersama untuk Indonesia” berlangsung khitmad. Pengasuh Ponpes Roudlotut Thalibin Rembang, KH Mustofa Bisri (Gus Mus) selaku pemrakarsa bersama KH Muadz Thohir, berharap agar warga NU tetap mampu menciptakan ukhuwah demi mengedepankan kepentingan bangsa. Pertemuan di Kompleks Pondok Pesantren Hamdalah Rembang, Jateng itu berlangsung Rabu (30/6) kemarin, .
Sementgara itu, Rais Aam PBNU, KH M.A. Sahal Mahfudh, dalam amanatnya, mengungkapkan rasa syukurnya karena seluruh warga NU masih menunjukkan ghirah (gairah) dan kepekaan terhadap kehidupan jamiyyah Nahdlatul Ulama. Silaturahmi para kiai di Rembang ini, kata pimpinan Ponpes Maslakul Huda, Kajen, Pati tersebut, bukan hanya untuk masa depan NU semata tapi lebih penting untuk bangsa Indonesia.
<>Ditegaskan, selama ini warga NU yang jumlahnya jutaan selalu mendapat cobaan yang cukup berat. Warga NU hanya dijadikan stempel dan tidak dapat menentukan pilihannya.
“Tapi tiba-tiba sekarang hak miliknya dikembalikan. Artinya mereka (warga NU) diberi kesempatan menentukan hak politiknya dalam Pemilu, sementara selama ini hak-hak mereka justru dipinggirkan dari percaturan kepemilikan negeri ini,” tandas Rais Aam PBNU. Karena itu pula, kata Kiai Sahal yang saat itu hadir dalam kondisi kurang sehat, sekarang warga NU tengah diuji kesabarannya.
Akhlak NU
Kiai Sahal mengemukakan, berdasarkan fenomena politik yang terus bergulir sekarang serta seiring memanasnya suhu politik di Tanah Air, ternyata banyak tokoh NU terlibat dalam perebutan kekuasaan. Sebagian di antara mereka ada yang kurang atau tidak memperlihatkan etika dan akhlak asli sebagai warga NU, sehingga bukan hanya NU-nya saja yang tercemar, tapi justru mengakibatkan ekses yang lebih besar, yaitu timbulnya keretakan di antara warga NU sendiri. Sementara idealnya Khittah NU, apa pun situasinya, harus tetap dijaga kemurniannya.
Menurut Kiai Sahal, ada tiga jenis politik. Pertama politik kebangsaan dan kenegaraan. Kedua, politik kerakyatan. Dan ketiga, politik kekuasaan yang sering disebut sebagai politik praktis. Untuk jenis pertama dan kedua diakui oleh Kiai Sahal, NU cukup besar perannya. Untuk itu lalu dicontohkan soal Fatwa Jihad pada Oktober l945 agar tetap berjuang untuk keutuhan NKRI. Juga fatwa mengangkat senjata melawan Penjajah Belanda dan sekutunya, keputusan menetapkan Waliyyudl Dlaturiy Bisysyaukah tahun l952, azas tunggal tahun 1984, termasuk taushiyah NU untuk Islah (reformasi) pada tahun 1988. “Namun anehnya, justru kenapa politik praktis yang banyak diminati kalangan warga NU, sementara sejarah telah membuktikan politik kekuasaan justru mengakibatkan keretakan dan perpecahan bangsa,” tegasnya.
Kepada Capres dan Cawapres (berikut Tim Suksesnya), Kiai Sahal minta agar bersikap arif dan bijaksana, serta dapat menerima kemenangan maupun kekalahan dengan tulus ikhlas sehingga perjalanan bangsa ini segera kembali normal. Kepada pihak mana pun, kata Kiai Sahal, tidak akan ada yang menghalang-halangi kemauan dan aspirasi politik warga NU dalam menentukan pilihan sesuai hati nuraninya. Kepada para kiai pihaknya meminta untuk tetap menjaga Khittah NU dan jangan sampai mengorbankan kepentingan NU. “Karena seberapa pun luhurnya kepentingan politik mereka akan menjadi laknat jika mengorbankan kepentingan yang lebih besar,” jelasnya.
Sementara itu, Rais Syuriah PBNU, KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam kata sambutannya mengingatkan kepada seluruh nahdliyin di mana pun berada agar tetap menjaga ukhuwah Islamiyah dan mengedepankan kepentingan bangsa Indonesia. “Banyak pertanyaan senantiasa dialamatkan kepada saya. Ada yang mengatakan orang NU sekarang sedang bingung untuk menentukan pilihan. Saya balik bertanya, kenapa hal seperti itu harus dibingungkan dengan situasi yang sengaja dicipta untuk membingungkan.
Kita tetap mempunyai pedoman dan dengan sikap yang arif tentulah ada jalan. Karena itu mari kita senantiasa berdoa agar dalam menentukan pilihan kita mendapat bimbingan dari Allah SWT,” papar Gus Mus dengan gayanya yang santai. Banyak warga NU, kata Gus Mus, masih terus menanti fatwa para petinggi NU, sementara Rais Aam PBNU, Kiai Sahal, begitu tawadlu’-nya sehingga banyak warga NU terkesan tidak sabar. Padahal menghadapi situasi yang pelik harus penuh kesabaran dan kebijaksanaan.
“Yang perlu kami jelaskan di sini mewakili sohibul bait, bahwa NU untuk Republik Indonesia, bukan untuk segelintir orang. Apalagi sekelompok tertentu yang mencoba memanfaatkan NU di tengah perebutan kekuasaan,” tandasnya yang kontan disambut tepuk tangan hadirin.
Dialog Antar-Kiai
Hadir dalam acara itu KH Abdullah Faqih (Langitan,Tuban), KH Masdar Farid Mas‘udi (Plh Ketua Umum PBNU), KH Warsun Munawwir (Jogjakarta), KH Muhaiminan Gunardo (Parakan, Temanggung), KH Muslih Hudaf (Klaten), KH Hanif Muslih