Jakarta, NU Online
Ketua Badan Wakaf Indonesia KH Tolhah Hasan menyatakan kesadaran untuk melakukan wakaf uang di Indonesia belum begitu berkembang sebagaimana di negara lain seperti Kuwait.
Salah satu penyebab belum populernya wakaf uang dikarenakan beberapa kitab rujukan tentang wakaf tidak mengizinkan mewakafkan uang, padahal banyak kitab lain yang membolehkan, tetapi kurang dikenal.
<>
“Akhirnya, yang berkembang saat ini kebanyakan masih berupa wakaf tanah,” katanya dalam pembukaan International symposium “Contemporary Management of Awqaf in the Islamic World” yang diselenggarakan oleh BWI di Jakarta, Senin (6/6).
Ia menyadari, upaya pengembangan wakaf uang ini butuh proses panjang. Jika dilakukan secara terburu-buru juga bisa kontraproduktif, karena ini menyangkut uang tunai, yang manajemen dan pengelolaannya harus benar-benar bagus sehingga masyarakat benar-benar percaya bahwa wakafnya dikelola dengan baik.
Dalam wakaf uang ini, yang dimanfaatkan hanya hasil investasinya sedangkan pokok wakafnya dibiarkan untuk tetap abadi.
Ia menggambarkan, di Kuwait, wakaf uang sudah sangat umum dilakuan oleh masyarakat. Ibu-ibu rumah tangga bisa mewakafkan uangnya hanya dengan mengirimkan SMS.
BWI sendiri sudah membuat satu jaringan di dalam negeri, ada 8 bank syariah sebagai penerima wakaf uang, yaitu Bank Mandiri Syariah, Bank Muamalat, BNI Syariah, Bank DKI Syariah, Bukopin Syariah, Bank Mega Syariah, Bank Jogja Syariah dan Bank BPD Kaltim Syariah. Masyarakat bisa mewakafkan uangnya berapa saja dan setelah jumlahnya mencapai satu juta rupiah, akan diberi sertifikat.
Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nasaruddin Umar mengiyakan wakaf tunai memang belum populer di Indonesia. Hukum sahnya wakaf tunai ini sudah disetujui oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan diratifikasi Majelis Ulama Indonesia.
“Dengan wakaf tunai, kita tak harus menunggu kaya, kita bisa mewakafkan satu tegel atau satu genting masjid tanpa harus memiliki sebidang tanah,” paparnya.
Kiai Tolhah yang juga mantan wakil rais aam PBNU ini menjelaskan, gerakan wakaf tidak mungkin dilakukan sendiri, tetapi membutuhkan jaringan untuk mempercepat terwujudnya proyek wakaf bersama.
Saat ini, gerakan wakaf sudah menjadi gerakan global, meskipun di suatu daerah kondisinya masih kecil, tetapi sudah ada. Simposium ini merupakan upaya untuk saling tukar menukar informasi dan saling belajar aspek positif dari pengalaman mengelola wakaf di masing-masing negara.
Ia menuturkan, wakaf yang diterima oleh BWI terus bertambah dari tahun ke tahun. Baru-baru ini, lembaganya menerima tanah di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat seluas dua seperempat hektar, yang rencananya akan dibuat untuk kawasan bisnis berbasis syariah dan apartemen berbasis syariah. Lembaganya juga telah bekerjasama dengan Badan Wakaf Sultan Agung di Semarang, yang mengelola pendidikan dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi dan juga memiliki rumah sakit.
Ditambahkannya, tradisi wakaf terbukti telah sukses di Universitas Islam Indonesia (UII) dan Gontor, yang tumbuh dan kembangnya dikarenakan dukungan wakaf yang menopang jalannya pembiayaan lembaga.
Ekspansi lembaga wakaf ke bisnis syariah dan apartemen syariah merupakan hal yang baru agar dan wakaf bisa berkembang lebih banyak. Sejauh ini pemanfaatan wakaf baru sebatas untuk lembaga pendidikan atau tempat ibadah. BWI juga berencana bekerjasama dengan Kementerian Perumahan Rakyat untuk membuat rumah sewa murah bagi rakyat yang membutuhkan rumah.
Penulis: Mukafi Niam