Banda Aceh, NU Online
Salah seorang ulama di Kota Banda Aceh, Teungku Abdullah, mempertanyakan keseriusan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dalam melaksanakan Syariat Islam secara kaffah (menyeluruh) sebagaimana telah dideklarasikan di daerah Serambi Mekah itu.
"Saya masih mempertanyakan keseriusan pemerintah di Aceh dalam menjalankan Syariat Islam, karena sejak dideklarasikan pemberlakuannya di Aceh pada 2002 hingga belum berjalan seperti diharapkan," katanya di Banda Aceh, Rabu malam.
<>Menurut dia, keseriusan pemerintah dalam mengimplementasikan kehidupan dalam suasana "islami" di tengah-tengah masyarakat sangat diperlukan, dengan menindak tegas setiap umat muslim yang tidak mengindahkan aturan-aturan yang terkandung dalam Syariat itu sendiri.
"Saya hanya merasakan bahwa implementasi Syariat Islam itu hanya dengan razia busana muslim di jalanan dan tempat-tempat rekreasi, namun hal-hal yang berkaitan dengan lembaga pendidikan terasa terabaikan," ujarnya.
Abdullah menambahkan, razia yang dilakukan petugas "Wilayatul Hisbah" (polisi Syariat) terhadap wanita Islam yang tidak berbusana muslim, atau "khalwat" laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, tapi berduaan itu, memang diperlukan.
"Namun, yang kita harapkan juga adalah lembaga pendidikan umum di Aceh harus segera mengimplementasikan aturan-aturan yang terkandung dalam Syariat Islam, misalnya terkait dengan kurikulum dan pemisahan antara siswa perempuan dengan laki-laki," katanya.
Pasalnya, hingga kini masih ada lembaga pendidikan umum di provinsi berpenduduk sekitar 4,2 juta jiwa yang belum menerapkan kurikulum "islami" secara penuh dan pemisahan ruang kelas antara siswa perempuan dengan laki-laki.
Selain itu, suasana perkantoran pemerintah di Aceh juga terlihat ruangan yang bercampur antara karyawati (perempuan) dengan karyawan laki-laki.
Di pihak lain, pemimpin salah satu pondok pesantren di Banda Aceh tersebut mengusulkan agar pemerintah setempat bisa menambah satu operasi lagi yakni "operasi penegakan" Syariat Islam, di samping lima operasi yang sedang digelar dalam operasi terpadu.
"Jadi, perlu dipikirkan adanya operasi penegakan syariat, di samping operasi kemanusiaan, pemulihan roda pemerintahan, penegakan hukum, pemulihan keamanan dan pemberdayaan ekonomi rakyat yang telah terangkum dalam operasi terpadu," kata dia.
Abdullah menilai, konflik bersenjata yang terjadi di Aceh itu juga karena melemahnya pemahaman agama (Syariat Islam) di kalangan penduduk, selain faktor kesenjagan ekonomi dan penegakan hukum.
"Saya pikir, salah satu faktor terjadinya konflik bersenjata di Aceh itu karena melenturnya nilai-nilai agama (akhlak) dan budaya ke-Aceh-an dikalangan penduduk Serambi Mekah ini," katanya.(mkf)