Warta

Terorisme Terus Berkembang, Sarjana Tafsir Hadits Harus Berperan

Selasa, 28 Juli 2009 | 13:32 WIB

Kudus, NU Online
Aksi teror yang dilakukan oleh sekelompok kecil umat Islam atas dasar pemahaman mereka terhadap teks-teks suci merupakan tantangan besar bagi sarjana tafsir hadits di lingkungan perguruan tinggi Islam. Sarjana tafsir hadits harus berperan agar terorisme tidak terus berkembang.

Demikian mengemuka dalam seminar nasional bertajuk “Revitalisasi Peran Profetik Sarjana Tafsir Hadits dalam Masyarakat Kontemporer”, Selasa (28/7), seperti dilaporkan kontributor NU Online Widi Muuryono. Seminar yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus ini dihadiri oleh dosen, mahasiswa dan alumni Fakultas Ushuluddin.<>

Seminar ihwal gagasan revitalisasi peran profetik sarjana Tafsir Hadits ini mendatangkan nara sumber dari berbagai instansi, di antaranya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kudus KH. Syafiq nashan LC, Dosen Bidang Tafsir UIN Syarif Hidayatullah, Dr Nur Rofiah, Bil.Uzm, dan Kaprodi Tafsir Hadits STAIN Surakarta, Islah Gusmian.

KH Syafiq Nashan dalam presentasinya menjelaskan, mempelajari tafsir Hadits dalam perspektif apapun tetap memiliki posisi yang strategis. Menurutnya, selain merupakan asyroful ulum (ilmu yang paling utama), tafsir hadits (TH) juga merupakan ilmu yang memberdayakan kehidupan manusia sesuai dengan tuntutan agamanya.

Islah Gusmian mengatakan, tafsir hadits diharapkan mampu menciptakan bangunan kurikulum yang bukan hanya mampu merespon permasalahan ummat, tetapi juga membangun kerangka filosofis yang multidisipliner, memanfaatkan berbagai keilmuan yang lain.

Menurutnya, TH memiliki tantangan sosial-religius yang yang cukup akut dan acapkali menjadi sumber konflik akibat pemahaman keagamaan yang parsial, mulai dari isu gender, crisis lingkungan, konflik SARA, hingga terorisme. Dalam kondisi ini, revitalisasi dan reaktualisasi peran tafsir Hadits tidak bisa ditawar lagi.

“Di sinilah letak tantangan sekaligus ruang garapan baru Tafsir Hadits yang tidak bisa ditunda-tunda,” ujarnya.

Mewujudkan upaya ini, menurut Islah, tidak meninggalkan peran dan potensi pesantren. Menurutnya, pesantren yang kaya potensi sumber daya manusia dan budaya murni perlu terlibat aktif dalam mengembangkan kurikulum Tafsir Hadits. Alasan yang menurutnya cukup kuat untuk menyertakan pesantren adalah upaya untuk memberdayakan pendidikan pesantren.

Nur Rofiah dalam presentasinya mengakui wewenang dalam memaknai teks tidak menutup kemungkinan adanya kesewenang-wenangan manusia atas teks. Hal ini, menurutnya dapat terjadi oleh orang yang tidak memiliki kapabilitas dalam memaknai teks atau oleh orang yang memiliki kepentingan politis dalam misi pemaknaannya.

“Kadang kekeliruan tafsir terjadi oleh orang-orang bodoh, atau oleh ilmuan yang tidak memiliki integritas moral,” bebernya.

Untuk itu, menurutnya, kajian tafsir hadits harus mengedepankan independensi dan obyektifitas ilmuan. Jika kader-kader itu mampu dicetak oleh TH, pembajakank tafsir dapat dihindari, atau setidaknya diminimalisir.

“Tugas Tafsir Hadits tidak hanya merespon problematika ummat saja, tapi juga merespon ide-ide penyalahgunaan tafsir,” tegasnya. (nam)


Terkait