Jakarta, NU Online
Kalangan anggota Komisi VIII dan Komisi X DPR RI mengkritisi terjadinya disparitas (perbedaan) pendidikan umum yang dikelola oleh Departemen Pendidikan dengan pendidikan keagamaan yang dikelola oleh Departemen Agama.
Hal itu diungkapkan sejumlah anggota DPR dalam Rapat Gabungan Komisi VIII dan Komisi X DPR RI dengan Menteri Agama M Basyuni dan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo di Gedung DPR RI, Kamis. Mereka yang mengkritisi kebijakan pemerintah antara lain anggota Komisi X Lukman Hakiem (F-PPP), Munawar Sholeh (F-PAN), Wakil Ketua Komisi X Soeratal (FPDIP).
<>Menurut mereka adanya disparitas mutu pendidikan dan disparitas cost (pembiayaan) telah menyebabkan terjadinya disparitas lulusan antara sekolah umum dengan sekolah keagamaan seperti Madrasah.
Sejumlah anggota pada rapat kerja (raker) yang dipimpin Wakil Ketua Komisi VIII Widada Bujowiryono (FPDIP) juga sempat mengusulkan agar dibentuk Panitia Kerja (Panja) untuk mensikronisasikan hal tersebut. Sementara Lukman Hakiem mengusulkan agar pendidikan keagamaan yang dikelola Departemen Agama digabung saja ke Departemen Pendidikan.
Menanggapi kritikan tersebut Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyumi mengakui bahwa pendidikan agama memang begitu terpuruk karena minimnya dana yang diperuntukkan bagi pendidikan keagamaan.
Namun Menag menampik anggapan bahwa sekolah keagamaan memiliki mutu yang lebih rendah dari sekolah umum. Menag kemudian mencontohkan sekolah keagamaan Insan Cendekia yang berada di Serpong, Tangerang di mana salah seorang muridnya Fajar Andriana sempat menjadi juara olympiade fisika.
Menurut Menag, titik tolak dari permasalah tersebut adalah kurangnya dana yang diperuntukkan untuk sekolah keagamaan. Namun mengenai siapa yang patut disalahkan karena minimnya dana yang dianggarkan untuk sekolah keagamaan Menag menjawab tidak tahu. “Mungkin benar yang dikatakan Pak Soeratal, mungkin karena kita yang malu-malu dan tidak meminta,” kata Menag seraya berbalik meminta dukungan Komisi VIII dan Komisi X untuk memberi tambahan anggaran dana.
Menyikapi usulan agar sekolah keagamaan disatukan pengelolaan ke Departemen Pendidikan, Menag dengan tegas menolak. “Saya khawatir nanti bisa keteter jika pendidikan agama digabungkan dengan Diknas karena tugas Diknas sudah sangat banyak,” katanya.
Di sisi lain, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo mengakui secara fakta memang telah terjadi disparitas mutu pendidikan dan disparitas cost yang berdampak pada disparitas lulusan antara sekolah umum dengan sekolah keagamaan.
Solusinya, menurut Mendiknas, ada di PP Standar Nasional Pendidikan yang saat ini telah selesai disusun Diknas. Dalam PP tersebut, jelas Mendiknas, standar pendidikan nasional akan dinilai oleh sebuah lembaga mandiri. PP tersebut menurut Mendiknas sudah berada di tangan Presiden untuk menunggu disahkan.
Terkait dengan usulan pembentukan Panja Gabungan Komisi VIII dan Komisi X untuk mensikronisasi hal tersebut, Mendiknas berpendapat usulan itu terlalu terburu-buru. Mendiknas khawatir pembentukan Panja tersebut justru tidak akan efektif. Meskipun demikian, Mendiknas tidak menolak jika Panja itu pada akhirnya akan dibentuk, namun Mendiknas minta agar pembentukan Panja tersebut menunggu rampungnya 13 PP yang merupakan pelaksanaan dari UU Sistem Pendidikan Nasional yang tengah diselesaikan Depdiknas sehingga nanti akan jelas duduk persoalannya.
Menanggapi banyaknya kritikan anggota Dewan terkait dengan kemerosotan moral generasi muda, Mendiknas menegaskan hal tersebut merupakan fakta. Bahkan Mendiknas berpendapat kemerosotan moral tidak hanya terjadi di kalangan generasi muda, namun juga terjadi pada orang tua.
“
Jadi yang bertanggungjawab orang tua dan ini merupakan kegagalan orang tua dalam mendidik. Bukan hanya sekedar kegagalan pendidikan. Karena yang terjadi bukan sekedar kegagalan pendidikan melainkan kegagalan kehidupan,” kata Bambang.
Bambang berpendapat, kondisi tersebut bisa dipahami karena hal itu merupakan dampak dari masa transisi yaitu perubahan bangsa Indonesia dari masyarakat agraris ke masyarakat industri.(ant/mkf)