Yang selalu membuat kita kagum kepada mereka adalah energi perjuangannya: konsisten pada garis perjuangan ulama, tak kenal lelah, jujur, dan tetap bersahaja. Mereka benar-benar menempatkan diri sebagai khadim ulama, tanpa merasa dirinya sebagai ulama. Ini misalnya bisa dilihat dari buku Berangkat dari Pesantren-nya Saifuddin Zuhri. Dari 35 kutipan mengenai Zainul Arifin, tak satu pun yang ditulis dengan gelar “KH”. Hanya ada beberapa yang diawali “H” saja.<>
Zuhri memang menempatkan dirinya selevel dengan Arifin. Dengan memiliki pemuda-pemuda seperti itulah roda organisasi NU pada masanya berjalan dan berputar menaik sehingga diperhitungkan dalam percaturan nasional. Bahwa kemudian oleh publik para pemuda itu di kemudian hari digelari “KH” itu adalah konsekuensi logis saja.
Satu hal yang menjadi kelebihan ZA adalah tempat tinggalnya di Jakarta yang menjadi pusat kekuasaan negara. Dengan posisi itu ZA mengikuti hampir semua pergerakan politik di pusat kekuasaan sehingga pilihan Wachid Hasyim kepada ZA menjadi sangat strategis. Selain mengakar sebagai tokoh NU Betawi, ZA juga mengerti arah perpolitikan nasional.
Menyambut peringatan “Seabad KH Zainul Arifin”, tentu akan semakin lengkap jika kita mengenal pemikirannya dalam persoalan keagamaan maupun kebangsaan. Tulisan singkat bersambung ini mencoba coba melihat serpihan-serpihan pemikiran Zainul Arifin (ZA) yang tersebar dalam surat kabar pada masa pendudukan Jepang.
Tanpa bermaksud menganalisisnya, kutipan-kutipan tulisan dan pernyataan ZA itu sudah sangat gamblang untuk dipahami ke mana arah dan tujuannya. Ia bukan tokoh yang berpikir “ribet” melainkan cenderung lugas dan mudah dipahami. Kutipan pendapat ZA disusun secara kronologi sesuai tanggal pemuatannya di sejumlah media. (Iip D. Yahya)