Kehidupan yang semakin sulit menimbulkan persaingan yang semakin ketat, seringkali dengan menghalalkan segala cara seperti korupsi, kolusi dan nepotisme, yang akhirnya malah merusak tatanan masyarakat.
Agar tetap dalam koridor ajaran agama, kesucian hati dan keseimbangan batin sangat diperlukan untuk menghadapi situasi seperti ini. Ilmu tasawuf membantu mengupayakan agar tetap konsisten dan teguh pada prinsip agama.<>
“Dengan belajar ilmu tasawuf, kita ini seperti ikan yang hidup di laut, tetapi kita tetap tidak asin, tetap memiliki prinsip dan kepribadian,” kata Habib Lutfi bin Ali bin Yahya, rais aam Jam’iyyah Ahlit Thariqah al Mu’tabarah An Nahdliyyah kepada NU Online baru-baru ini disela-sela munas di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.
Akar dari segala sifat buruk tersebut menurutnya adalah sifat lupa kepada Allah. Tugas tasawuf adalah membersihkan hati, supaya menjalankan amal ibadah tiada niatan lain kecuali kepada Allah.
“Bagaimana hati kita bersih dari syirik, baik syirik kecil, lebih-lebih syirik besar, letaknya tidak di bibir atau dimata, tetapi di hati. Sumber dari perbuatan yang kurang baik dan terpuji dari sisi allah adalah kealpaan, lupa kepada yang maha kuasa sehingga timbulnya riya, hasud, dengki, dan sebagainya. Ini karena kita lupa,” terangnya.
Ditanya mengenai makna zuhud, Lutfi menjelaskan zuhud adalah membersihkan hati dari keterkaitan kepada yang selain Allah, bukan meninggalkan sesuatu yang sifatnya duniawi.
“Kita ingin bisa berhaji, bukan dihajikan, kita ingin berzakat, bukan dizakati, ya kan. Zauhud itu membersihkan hati dari keterkaitan pada selain Allah,” tuturnya.
Jika dekat dengan Allah, secara substansi, manusia dengan sendirinya akan kaya. “Kita dekat dengan pemberi kekayaan, bukan pada kekayaannya, sehingga kita tidak memiliki kekuatiran. Kekuatiran kita adalah pada kondisi iman kita. Kalau kita tidak kuwatir tak akan menjaga, apa yang diberikan Allah,” katanya. (mkf)