Jakarta, NU Online
Target pemerintah untuk berswasembada gula pada 2007 terancam mundur, karena sejumlah instrumen dan persyaratan yang diperlukan ke arah itu sulit dipenuhi, khususnya yang menyangkut bongkar rattoon (rehabilitasi tanaman tebu) dan pola tanam ideal. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Perusahaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI, Adig Suwandi, seperti dikutip situs suara pembaruan, www.suarapembaruan.com selasa (10/8).
Dikatakan, idealnya setiap tahun bisa dilakukan bongkar rattoon 20-25 persen dari areal yang ada, tetapi kini baru sekitar 10 persen. Sebagai contoh dari 38.000 hektare (ha) tebu petani di lingkungan PTPN XI, tahun lalu baru 3.894 ha yang bisa bongkar rattoon.
<>Persoalan bertambah serius karena sampai saat ini pemerintah belum mempunyai kebijakan tata ruang yang jelas dan memungkinkan tebu dibudidayakan dalam satu hamparan agroekosistem. Situasi pengusahaan tanaman budi daya yang terpencar-pencar dan berdampingan banyak komoditas sementara persyaratan tumbuh masing-masing berbeda, bukan saja menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan efisiensinya rendah, tetapi juga cenderung menyulitkan penanganan panen. "Ini berbeda dengan kondisi di masa lalu di mana tebu diusahakan dalam satu hamparan," katanya.
Menurut Adig, dari hasil studi tentang produktivitas dan efisiensi dalam industri gula, terjadi disintegrasi vertikal dalam penyediaan bahan baku. Semula dikelola pabrik gula (PG) melalui penyewaan lahan dari petani sekitar menjadi tebu rakyat. Produktivitas gula menurun dari lebih 12 ton gula per hektare, menjadi 5,2 ton dalam seperempat abad terakhir.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, PG dan petani harus memiliki satu persepsi yang sama tentang pentingnya pola tanam dan tata ruang. Kalau situasi hamparan dibiarkan tanpa arah kebijakan peruntukan yang jelas, sulit bagi Indonesia untuk bisa meningkatkan daya saing produk agribisnisnya, termasuk gula. "Lahan yang terkonsolidasi memungkinkan tanaman, pekerjaan mekanisasi, budidaya, dan tebang-angkut dilakukan jauh lebih mudah dan efisien," katanya.
Kondisi bertambah runyam karena petani memiliki kebebasan memilih komoditas tanaman apa saja yang dinilai paling menguntungkan. Ketika tebu dinilai tidak memberikan keuntungan memadai, baik karena produktivitas maupun harga, pada saat itulah tanpa disadari bencana bagi agribisnis telah didesain.
Terpadu
Untuk mencari solusi yang tepat, kini sedang dilakukan pengkajian tentang pembenahan industri gula secara terpadu. Antara lain dengan memberikan kesempatan kepada petani, investor, dan stakeholders lain untuk bersama-sama PTPN XI mengelola PG Wringinanom, Kabupaten Situbondo. "Kalau petani bisa menjadi pemilik (shareholders) PG, idealnya pola tanam dan tata ruang dapat direncanakan dengan baik sehingga secara bertahap daya saing dan produktivitas dapat ditingkatkan," katanya.
Studi tersebut sedang dilakukan Fakultas Pertanian IPB di bawah koordinasi Prof Dr Ir AM Satari, mantan Rektor IPB periode 1970-1978. Apabila lahan yang digunakan untuk budi daya tebu diasumsikan tetap seperti sekarang, praktis produktivitas harus ditingkatkan menjadi sekurang-kurangnya 9-10 ton gula per hektare.
Khusus untuk PTPN XI yang kini mengelola 16 PG di Jawa Timur, diharapkan dapat memberikan kontribusi gula sekitar 450.000 ton per tahun, sementara tahun lalu perusahaan ini menghasilkan 321.000 ton dan tahun 2004 diharapkan 361.000 ton. (cih)