Dalam upaya mengatasi krisis pangan yang terjadi di Indonesia saat ini, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih meminta pemerintah agar program redistribusi lahan pertanian lewat program Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) dengan luas 9.15 juta hektar dilanjutkan.
Hal tersebut dikemukakan dalam seminar ”Petani Menjawab Krisis Pangan: Saatnya untuk Kedaulatan Pangan” yang diselenggarakan di Jakarta, Rabu (14/5).<>
Kenaikan harga pangan yang sangat tajam ini sangat memberatkan masyarakat miskin yang pengeluaran untuk pangannya mencapai 50-70 persen dari total pendapatan.
Berbagai upaya seperti peningkatan produksi sudah dilakukan, tetapi sejauh ini belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Pembagian tanah tersebut memungkinkan para petani gurem dan buruh tani memiliki lahan untuk berproduksi dan meningkatkan pendapatan mereka.
Faktor kedua dalam mengatasi krisis pangan adalah mengurangi ekspor bahan pangan ke luar negeri dengan menetapkan quota dan tak melakukan ekspor ketika kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi.
”Saat ibu-ibu menjerit karena kenaikan harga minyak goreng, perusahaan swasta yang dimiliki asing menikmati ekspor dengan harga yang tinggi. Jangan karena tergiur keuntungan ekonomi, Deptan dan Bulog melakukan ekspor beras, bukannya malah menyimpan stok untuk persediaan paceklik,” katanya.
Upaya menjaga ketersediaan pangan juga bisa dilakukan melalui pengaturan tata niaga bahan pangan. Mekanime pasar dikuasai oleh swasta dengan mekanisme pasar yang oligopolis hanya akan menguntungkan mereka. ”Perlu ada ketegasan pemerintah dalam menstabilkan harga berbagai kebutuhan pokok, jangan sampai pengelolaannya diserahkan swasta,” tandasnya.
Dalam penetapan harga, harga harus sesuai dengan ongkos produksi dan keuntungan petani, serta kemampuan konsumen. Para petani tanaman pangan perlu mendapatkan insentif harga agar mereka tetap bergairah dalam memproduksi pangan.
”Jaminan bagi petani yang menanam hasil pertanian adalah suatu keharusan agar terjaminnya hasil produksi dan sebagai stimulan peningkatan produksi. Harga tidak boleh tergantung pada harga internasional yang tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan,” imbuhnya.
Heny juga berharap agar peran Bulog sebagai stabilisator harga dan persediaan pangan dalam negeri secdara luas harus ditegakkan kembali, terutama menyangkut bahan pangan pokok seperti beras, jagung, kedelai, minyak goreng dan gula.
Lumbung-lumbung padi kolektif desa atau kabupaten sebagai upaya mempermudah penyerapan produksi pangan dan pendistribusian di tingkat lokal menjadi ide lain yang layak dikembangkan. Beberapa daerah lain seperti Bantul di Yogyakarta sudah melakukan upaya ini.
Penghentian perluasan ekspansi tanaman perkebunan yang berorientasi ekspor yang saat ini sudah mencapai luasan 7.2 hektar menurut Henry juga harus dilakukan. Konversi lahan pangan ke pertanian saat ini mencapai 10.000 hektar per tahun.
Terakhir, Henry berharap agar investigasi terhadap kemungkinan penimbunan bahan pangan yang dilakukan oleh pelaku bisnis pangan dan spekulan terus dilakukan. Contoh nyata adalah kasus PT Cargill Indonesia yang menimbun 13.000 ton kedelai ditengah kelangkaan kedelain yang dialami Indonesia.
”Kasus penimbunan kedelain oleh Cargill ini harus menjadi contoh bertapa kita harus waspada terhadap permainan harga bahan pangan yang dilakukan oleh para pedagang besar,” ujarnya. (mkf)