Warta

Silaturrahim Tokoh Agama & Korban Tragedi Kemanusiaan 65 - 66

Sabtu, 10 Mei 2003 | 11:30 WIB

Jakarta, NU Online,
Put Mu'inah, mantan aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) Blitar, Jawa Timur berharap, seluruh luka sejarah bisa dikubur hingga para bekas aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk sayap wanitanya, Gerwani, diterima masyarakat secara wajar. Nenek 14 cucu dan lima cicit ini tak ingin stempel buruk bekas simpatisan PKI itu dipikul turun-temurun oleh anak-cucu yang tak berdosa. ''Yang sudah, ya, sudah. Mari kita mulai jalan bareng,'' katanya.

Di Hotel Minak Jinggo, Glenmor, pada hari Jum’at 25 April 2003 digelar ''Workshop dan Stadium General Menguak Tragedi 1965-1966 dan Menggagas Rekonsiliasi di Akar Rumput''. Tampak hadir beberapa tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan PKI setempat, dua organisasi yang pernah baku bunuh pada 1960-an. Acara itu dimaksudkan sebagai langkah awal rekonsiliasi di antara mereka.

<>

Dari unsur NU, ada Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang NU Banyuwangi, KH Masykur Ali, Rais Syuriyah KH Hisjam Sjafa'at, dan Ketua Lajnah Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU Banyuwangi, Mukhlisin. Dari kalangan PKI, selain Put Mu'inah, tampak bekas aktivis Barisan Tani Indonesia (BTI) Banyuwangi Mohammad Arief, 75 tahun, serta aktivis BTI Blitar, Sukiman, 65 tahun.

Acara dua hari itu difasilitasi Masyarakat Santri untuk Kajian dan Advokasi Rakyat (Syarikat) Indonesia, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dikelola anak-anak muda NU, berkantor di Yogyakarta. Memasuki hari kedua, peserta workshop menghasilkan empat butir kesepahaman. Di antaranya mengajak semua elemen masyarakat mewujudkan rekonsiliasi.

Pada butir lain, mereka mendesak negara menghentikan politisasi tragedi 1965-1966 dengan membiarkan bergulirnya beragam versi atas peristiwa itu, dan merevisi kurikulum sekolah tentang tragedi ini.

Pelaksana Program Syarikat Indonesia, Saiful Huda Sodiq, berharap acara tersebut menjadi titik awal demokratisasi lewat rekonsiliasi masyarakat akar rumput. ''Saya melihat NU sangat representatif mewakili masyarakat luas, karena ormas ini paling banyak bersinggungan dengan PKI,'' katanya. Mu'inah mendukung. Orang PKI, katanya, cuma korban politisasi sejarah.

''Pembantaian PKI adalah imbas rivalitas Amerika Serikat dan Uni Soviet saat itu,'' kata. Saiful Huda Sodiq. Akibatnya, anak-cucu bekas anggota PKI sulit bersosialisasi. ''Saya ingin rekonsiliasi di tingkat akar rumput ini bisa mengakhiri dendam,'' katanya.

Mantan anggota BTI Banyuwangi, Mohammad Arief, senang dengan rintisan ishlah ini. ''Saya berterima kasih kepada NU yang mau menjadi pionir,'' katanya. Meski NU tidak bisa dianggap bersalah begitu saja dalam tragedi 1965, Mukhlisin menilai upaya ini bisa menjadi titik awal yang baik.

Acara Yang Sama di Gelar di Kota Cirebon
Tak hanya di Banyuwangi, pada hari yang sama, Syarikat Indonesia, didukung The Asia Foundation, menggelar acara serupa di Cirebon, Jawa Barat. Mereka bekerja sama dengan Fahmina, LSM dari Cirebon. ''Kota ini dipilih karena ketegangan NU dan PKI yang skalanya paling besar se-Jawa Barat, ya, di sini,'' kata Marzuki Wahid, anggota Badan Pelaksana Syarikat Indonesia.

Acara ''Tasyakur dan Silaturahmi untuk Kebersamaan dan Persaudaraan'' itu berlangsung di Kantor Cabang NU Cirebon. Tampak hadir belasan mantan tahanan politik (tapol) peristiwa G-30-S. Mereka umumnya alumni Pulau Buru. Juga hadir tokoh nonmuslim Cirebon. Ada Pendeta Supriatno, Pendeta Yohanes Muryadi, dan Pendeta Sugeng Daryadi.

Awalnya pertemuan berjalan kaku. Para eks tapol lebih suka diam menyimak uraian Direktur Fahmina, KH Husein Muhammad, dan Marzuki Wahid. Maklum, mereka umumnya sudah sepuh. Setelah Marzuki menjelaskan bahwa forum itu bermaksud mencari kebenaran tragedi 1965, mereka baru bersemangat.

Dalam pengantarnya, Husein menjelaskan, pihaknya sengaja mengundang para eks tragedi 1965 sebagai upaya silaturahmi antar-sesama manusia. ''Mudah-mudahan ada rekonsiliasi kultural di antara kita,'' katanya. Gagasan ini didasari harapan tragedi kemanusiaan itu tak terulang.

Bagi panitia, tak mudah mengumpulkan para bekas tapol itu. Dari puluhan yang diundang, bahkan didatangi, cuma belasan yang bersedia hadir. ''Meski ada yang antusias, banyak yang masih skeptis,'' kata Ipah Jahrotunasipah, aktivis Fahmina. Ini diakui Untung Raden, mantan tapol yang kini tinggal di Losari. ''Jangankan kepada orang baru, kepada sesama bekas tahanan pun masih banyak yang ragu,'' kata Untung.

Pertemuan itu pun berakhir tanpa kesimpulan. Juga tak ada sikap bersama seperti di Banyuwangi. Fahmina masih mencari formula lain untuk langkah berikutnya. ''Sebagai permulaan, kami anggap acara ini cukup berhasil,'' kata Husein. Paling tidak, para mantan tapol Cirebon sudah mau membuka diri.

Sebagian eks tapol yang hadir berharap, acara itu ditindaklanjuti dengan langkah kongkret. Pasalnya, ada yang merasa hanya korban dan sampai kini tak tahu k


Terkait