Jakarta, NU.Online
"Korupsi yang terjadi di Indonesia memang menjadi sesuatu yang sistemik," ungkap Sutradara Ginting di Gedung MPR. Dengan bahasa yang santun dan menggelitik ia kemudian memetakan perilaku antikorupsi dalam dua kategori Pertama, perilaku antikorupsi sebagai refleksi sistem nilai yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Kedua, sikap dan perilaku antikorupsi karena tidak mempunyai kesempatan untuk korupsi.
Sikap yang kedua ini, lanjut Ginting, begitu mempunyai kesempatan, maka perilaku koruptif merajalela. Jadi persoalannya adalah antikorupsi karena belum dapat giliran untuk korupsi. Menurutnya, kategori kedua inilah yang dominan sekarang ini, sehingga di samping aspek represif, maka aspek preventif dan edukatif dalam pemberantasan korupsi perlu pula perhatian sungguh-sungguh.
<>Sebelumnya, Megawati dalam pidatonya di hadapan wakil rakyat melontarkan (1/8), "Ketika berbagai upaya hukum dilakukan terhadap para koruptor di kalangan eksekutif dan swasta, sekarang berlangsung pula praktek KKN yang dilakukan secara kolektif oleh sementara kalangan politisi, khususnya yang duduk dalam badan-badan legislatif di daerah-daerah."
Apakah dengan kalimat ini Megawati sebenarnya ingin mengatakan, korupsi sebenarnya sedang merata. Kalau sebelumnya kita mengenal pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya sebagai salah satu logi dalam trilogi pembangunan, mungkin sekarang - sebagai ironi lagi - pemerataan korupsi.
Kenyataan ini oleh berbagai kalangan baik dalam dan luar negeri sudah mengemuka bagaimana pendapat mereka tentang korupsi di Indonesia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara. Disebutkan bahwa daya tahan struktur pemerintahan sangat bergantung pada kelancaran penyaluran dana kepada unsur-unsur pemerintahan yang di dalamnya banyak mengandung unsur-unsur korupsi. Bila korupsi diberantas, maka akan merusak arus penyaluran dana itu dan pemerintahan akan hancur.
Berdasarkan data para analis itu, Indonesia masuk pada negara dengan tingkat korupsi yang sangat parah, untuk masalah ini Bank Dunia menempatkan Indonesia dalam urutan paling terakhir. Terlepas dari berbagai parameter yang mungkin bisa diperdebatkan, hasil tersebut harus diakui sebagai kenyataan yang tidak terbantahkan
Kalau sudah begitu, rakyat hanya mendengar dan melihat berbagai temuan penyelewengan di berbagai lembaga, tetapi kemudian berulang kembali temuan itu hanya sekedar diumumkan, pemerintah belum mengambil tindakan secara serius untuk melakukan tindakan hukum. Keadaan ini diperparah dengan tiadanya akhlak dan keteladanan dari para pemimpin kita baik di eksekutif, legislatif, maka wajarlah jika korupsi hanya menunggu waktu saja.
Akibatnya jelas, perilaku korupsipun merajalela. Tidaklah heran, apabila negara yang disebut Republik Indonesia ini menduduki peringkat tertinggi dalam tingkat korupsi. Namun, ironisnya, tidak ada koruptornya. Ironinya juga, Presiden hanya menyebutkan, meskipun hanya khusus, praktik KKN kolektif yang dilakukan oleh badan-badan legislatif di daerah-daerah. Dia tidak menyebut, apakah praktik yang sama juga terjadi di badan legislatif pusat. Namun jika dilakukan 'pembuktian terbalik' yang pernah digagas Gus Dur namun ditolak oleh berbagai pihak, pola hidup mewah sebagian anggota DPR patut pula dipertanyakan.
Kalau tata masyarakat kita sudah terkungkung dalam ironi antikorupsi ini, supaya tidak disebut korupsi dan supaya tidak ada yang merasa dirugikan, pilihannya adalah memberi kesempatan kepada semua pihak melalukan korupsi?(Cih)