Jakarta, NU Online
Sebagian besar perokok aktif dan pasif tidak menyadari risiko yang mereka hadapi karena lamanya tenggang waktu antara saat merokok dengan dampak yang diakibatkannya.
Siaran pers Badan Kesehatan Dunia (WHO) di Jakarta, Senin, menyebutkan salah satu alasan yang dikemukakan produsen rokok tentang pengendalian tembakau adalah dengan memberikan keleluasaan bagi perokok untuk memutuskan penggunaan uangnya sendiri.
<>Alasan itu mengasumsikan bahwa para perokok telah tahu bahaya merokok dan berfikir bahwa perilaku mereka tidak berdampak apa pun kepada orang lain. Kenyataannya, penggunaan tembakau melanggar kedua asumsi tersebut.
Kenyataannya, kebanyakan orang Indonesia tidak memahami bahaya merokok bagi kesehatan. Salah satu alasan mengapa banyak orang sulit menerima bahaya penggunaan tembakau terhadap kesehatan adalah adanya tenggang waktu cukup lama (20-25 tahun) sejak seorang mulai merokok dengan timbulnya berbagai penyakit, seperti kanker paru.
Kesulitan lain timbul karena industri tembakau secara sistematis berusaha menyangkal bukti-bukti ilmiah tentang dampak merokok pada kesehatan.
Sejak pertengahan tahun 1950-an, industri tembakau di negara maju telah menyembunyikan fakta mengenai bahaya merokok bagi kesehatan, berupaya keras untuk tidak mengindahkan undang-undang tembakau di negara tersebut, dan berusaha membeli pengaruh (politis) untuk melawan upaya pengendalian tembakau.
Tembakau mengandung nikotin yang sangat adiktif. Meskipun fakta menunjukkan bahwa perokok yang berhenti merokok dapat mengurangi risiko kesehatannya, tetapi hanya sedikit yang berhasil, karena mereka tidak memperhitungkan sifat nikotin yang sangat adiktif (kecanduan).
Kebanyakan perokok memulainya saat mereka masik anak-anak atau remaja. Hampir 70 persen perokok Indonesia mulai merokok sebelum berusia 19 tahun. Anak-anak dan remaja belum mampu menimbang bahaya merokok bagi kesehatan dan dampak adiktif dari nikotin.
Perokok juga membebankan biaya keuangan dan risiko fisik kepada orang lain. Asumsinya selama ini, kosumenlah yang hanya menangung semua biaya atau kerugian akibat kebiasaanya. Akan tetapi sebenarnya, perokok menimpakan beban fisik dan ekonomi kepada orang lain.
Beban itu meliputi risiko kesehatan orang lain yang terkena asap tembakau di lingkungan dan biaya yang dibebankan kepada masyarakat untuk pelayanan kesehatan.
Rata-rata umur mulai merokok di Indonesia menurun dari 18,8 tahun pada 1995 menjadi 18,3 tahun pada 2001. Kebiasaan meokok yang dimulai pada masa anak-anak lebih sulit untuk dihentikan.
Anak-anak yang merokok mempunyai risiko tinggi untuk mengidap penyakit akibat tembakau pada usia paruh baya. Mendidik seorang anak untuk tidak merokok juga tidak efektif di lingkungan harga rokok cukup murah, mudah didapat dan iklannya tersebar luas.
Program remaja hanya efektif jika dipadukan dalam kampanye menyeluruh penanggulangan tembakau yang meliputi menjaga harga tembakau tetap tinggi, larangan menyeluruh terhadap iklan dan promosi, pendidikan mengenai risiko merokok dan membantu perokok yang mau berhenti.(mkf/an)