Jakarta, NU Online
Menjelang Pilkada langsung yang dimulai pada bulan Juni mendatang, banyak daerah yang sampai saat ini belum siap untuk melaksanakannya. Dari 192 daerah yang akan melakukan pilkada, baru 12 persen atau 23 daerah yang sudah membentuk pengawasan Pilkada sedangkan sebanyak 45 persen belum mempunyai, 33 persen dalam proses rekrutmen.
Pernyataan tersebut dikemukakan oleh ketua PBNU yang sekaligus merupakan mantan anggota Panwaslu Pusat HM Rozy Munir, Kamis malam. Karena itu ia menilai penundaan lebih baik daripada memaksakan diri.
<>“Mestinya pemerintah harus berlapang dada, kalau penundaannya 2 atau tiga bulan dibandingkan harus dilakukan Juni, Jangan sampai memburu target tapi menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial. Ini juga jangan dianggap sebagai pengalaman pertama karena sebetulnya sudah ada panwas pemilu yang lalu,” tandasnya.
Dikatakan bahwa jika dipaksakan, maka harus kerja ekstra. Harus ada kejelasan tentang anggaran, ada political will dari DPRD yang saat ini dikuasai oleh partai-partai. Yang mencalonkan calonnya untuk jadi kepala daerah, kemudian KPUD dan Panwas Pilkada harus betul-betul independen. Ini semua diatas kertas baik, tapi berdasarkan pengalaman yang lalu tidak seindah warna aslinya, selalu ada masalah-masalah disetiap tahapannya.
Dari jumlah 192 tersebut, 185 merupakan kabupaten kota sedangkan 7 merupakan daerah propinsi. Ketidaksiapan tersebut meliputi anggaran, baik dari APBD maupun APBN yang belum siap disamping banyak daerah yang belum membentuk pengawasan pilkada.
Pembentukan panwas pilkada ini sangat penting karena mereka harus mengawasi tahapan pilkada, mulai dari tahap pendaftaran pemilih sampai pada pengumuman atau pencalonan sampai pemilihan,
“Waktunya menjadi sempit sekali. Normalnya 4-6 bulan. Kalau dikatikan dengan panwas pemilu yang lalu, pusat saja perlu 1 tahun sehingga 2 bulan ini sangat sempit, terutama berkaitan dengan rekrutmen yang meliputi lima unsur yaitu, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, pers, kepolisian dan kejaksaan,” ungkapnya.
Dalam pengalamannya banyak sekali masalah yang timbul, mulai dari masalah dalam penetapan calon seperti ijasah, domisili, independensi dan lainnya. Saat ini juga banyak gubernur atau bupati atau walikota yang Pjs sehingga konsentrasinya kesana. Ini mengakibatkan urusan administrasi pemerintah daerah betul terfokus ke masalah pilkada, dan untuk jadi calon mereka harus mundur lagi.
Logistik juga bisa menjadi kendala karena karena ketidakserempakan ini menyebabkan logistik tidak seragam dan harus dilakukan secara bertahap.
“Desk pilkada di departemen dalam negeri juga berpotensi menimbulkan masalah. Kalau monitornya betul untuk mencari masukan dan diteruskan ke pengambilan keputusan yang lebih tinggi, maka baik, tetapi kalau ada unsur intervensi ini juga akan menjadi masalah,” tambahnya.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan oleh Perludem (perkumpulan untuk pemilu dan demokrasi), organisasi mantang anggota panwaslu yang memiliki jaringan seluruh Indonesia. Menyampaikan bahwa sebagian DPRD masih tidak paham atas apa yang harus dilakukannya dengan pembentukan panwas pilkada dan masih menunggu petunjuk dari pusat, dalam hal ini Depdagri, hal ini membuktikan bahwa sosialisasi peraturan Pilkada di instasi terkait belum maksimal.(mkf)