Jakarta, NU Online
Dunia seakan luput melihat tragedi memilukan yang terjadi di Kongo, sebuah negara miskin di benua Afrika. Ribuan orang mati setiap hari atau 30.000 tewas setiap bulan karena kelaparan dan penyakit, dan parahnya hal ini luput dari perhatian media dunia.
"Media cetak, radio, TV, dan Internet sama tak perdulinya dengan konflik dan bencana kemanusiaan ini, mengapa tiba-tiba media luput melihat penderitaan di kawasan miskin yang bedarah-darah itu," ungkap Andrew Stroehlein. media director for the International Crisis Group seperti dikutip Jurnalisme.com, Rabu (15/6).
<>Ketimpangan ini, tulis Andrew berbeda ketika Media Barat lebih memberi perhatian dan lebih banyak memberitakan ledakan bom di Irak (meski tak mematikan) atau penculikan di Afghanistan setiap hari ketimbang memberitakan puluhan ribu orang tewas di Kongo setiap bulan.
"Padahal Jumlah korban tewas di Kongo sejak konflik pecah pada 1998 mencapai 3,8 juta jiwa, jauh lebih besar dari jumlah korban tsunami di Asia, atau korban konflik di Darfur, Sudan, yang juga terletak di Afrika," ujarnya.
Anehnya, lanjut Andrew kalangan media juga tak punya jawabannya ketika ditanya kenapa tak berminat meliput bencana kemanusiaan di Kongo dan kawasan Afrika lainnya. "Skenario ketidakadilan ini menunjukan bagaimana media menjadi tidak berdaya lagi ketika berada dibawah ketiak kapitalistik," tandasnya.
Secara terpisah, menanggapi hal ini, seorang pemerhati media, Syafiq Alielha, mengatakan adanya ketimpangan media dalam mengemas isu adalah bagian dari skenario global serta akibat system politik tunggal yang dipaksakan yakni system demokrasi liberal, yang sebenarnya tidak lebih sebagai jembatan bagi imperialis untuk menginfiltrasi negara dunia ketiga dengan berbagai kepentingan yang imperialistic dengan modus demokrasi, sehingga dengan alasan itu pula negara adidaya bebas memperlakukan negara dunia ketiga, termasuk upaya menciptakan konflik yang mengakibatkan pertikaian di Kongo. "Parahnya media massa dunia juga ikut menjadi agen yang sama," ungkap Syafiq
Akan halnya di Media massa di Indonesia, Mantan aktivis mahasiswa 98 ini mengatakan media di Indonesia jelas lebih tak berminat meliput tragedi ini, karena alasan biaya yang mahal dan tak jelas keterkaitannya dengan sentimen di negeri sendiri. "Atau lebih amannya, kita sendiri punya masalah segudang yang tak kalah menyeramkan," ulasnya. (cih)