Warta

RI Tidak Akui Dewan Pemerintahan Irak

Senin, 26 Januari 2004 | 15:03 WIB

Jakarta, NU.Online
Pemerintah Republik Indonesia sampai saat ini tidak mengakui Dewan Pemerintahan Irak yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Hal ini ditegaskan oleh Direktur Timur Tengah Departemen Luar Negeri Muzammil Basyuni dalam diskusi bertajuk "Masa Depan Irak Pasca Rezim Saddam Hussein" yang diselenggarakan Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Senin (26/1).

"Pemerintah juga masih menonaktifkan Kedubes RI di baghdad sejak April 2003 untuk sementara waktu," katanya. Sikap ini diambil oleh Indonesia sampai terbentuknya pmerintahan Irak yang representatif dan mendapat legitimitasi dari masyarakat internasional khusunya Perserikatan Bangsa-Bangsa.

<>

Pemerintah Indonesia, kata dia, melalui upaya diplomasi baik bilateral maupun melalui forum internasional seperti Asean, Gerakan Non Blok, Organisasi Konferensi Islam dan PBB, untuk secara konsisten menekankan perlunya penyelesaian secara damai atas krisis Irak ini.

Otoritas sementara koalisi (Coalition Provisional Authority) membentuk Dewan Pemerintahan Irak pada tanggal 13 Juli 2003. Dewan tersebut beranggotakan 25 orang terdiri dari 13 orang Islam Syiah, 5 orang Islam Sunny, 5 orang Kurdi, 1 orang Kristen dan 1 orang keturunan Turki.

Sedangkan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi menginginkan agar AS segera keluar dari Irak kemudian mepersilahkan PBB secara netral untuk mengatur kembali "Negeri 1001 Malam" tersebut. "Kalau tidak maka tragedi akan terus terjadi baik di pihak Irak ataupun AS," katanya. Hal ini, kata Muzadi, sudah disampaikannya ketika kunjungan presiden AS George W. Bush ke Bali, 22 Oktober tahun lalu.

Sementara itu, menurut anggota DPR Komisi Hubungan Luar Negeri Hapy Bone Zulkarenaen, sikap yang diambil Indonesia ini masih terlalu lembek. "Seharusnya Indonesia lebih tegas dalam menyuarakan sikapnya," katanya. Sikap ini, lanjut dia, terbaca sebagai bagian dari gejala inferiority complex. "Sikap seperti ini jelas salah dan tidak boleh terjadi. Sebagai bangsa dalam berhubungan dengan bangsa lain setidaknya ada 4 prinsip yakni, saling pengertian, saling menghargai, saling menguntungkan dan tidak boleh mengintervensi kedaulatan wilayah masing-masing," ujarnya.

Ditempat yang sama Dosen Pasca Sarjana UI  Kajian Timur Tengah, Hanif  Saha Ghafur menjelaskan untuk bisa keluar dari krisis pemerintahan Iraq pasca Saddam harus bisa menentukan nasibnya sendiri,  rakyat Irak harus menjadi subyek untuk masa depan negaranya, tidak boleh ada intervensi asing, jika ingin menegakan prinsip-prinsip negara yang berdaulat. 

Menurutnya  masih adanya aksi perlawanan rakyat Irak itu menunjukkan bahwa krisis Iraq lebih besar dan kompleks dari sekadar seorang Saddam Hussein. AS harus mencari solusi yang lebih substansial, khususnya menyangkut isu kaum Sunni Arab yang menjadi basis gerakan perlawanan terhadap pasukan pendudukan AS. "Jadi jelas persoalan Iraq pasca Saddam semakin kompleksitas, tidak hanya dalam aspek politik dan keamanan, tetapi juga struktur sosial dalam pola hubungan antara etnis dan mazhab agama,"  tegasnya. (cih)


Terkait