Warta

Ramadhan di Pakistan Telat Menentukan Puasa

Selasa, 1 September 2009 | 02:21 WIB

Islamabad, NU Online
Indonesia tidak ada salahnya mencontoh Pakistan dalam kekompakan menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri. Di negara berpenduduk Muslim terbesar ketiga di dunia setelah Indonesia dan India itu, awal Ramadhan ditentukan oleh Panitia Pusat Rukyatul Hilal di bawah naungan Departemen Agama Pakistan yang berkerja sama dengan Departemen Meteorologi.

Mayoritas masyarakat mengikuti hasil ijtihad pemerintah, sebab sekte-sekte atau organisasi keagamaan di negeri tersebut tidak mengeluarkan ijtihad sendiri-sendiri mengenai awal puasa atau Idul Fitri. Mereka tetap ikut ijtihad para ulama di bawah naungan Departemen Agama.<>

Tidak seperti di Indonesia, di mana organisasi keagamaan sering menentukan sendiri awal Ramadhan atau Idul Fitri tanpa mengikuti keputusan pemerintah.

Namun demikian, Pakistan sering kali terlambat dalam menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri. Mereka malah berkiblat kepada Saudi Arabia atau Indonesia dalam menentukan hari pertama puasa.

Muhammad Ihsanuddin, warga Indonesia yang menempuh S2 Tafsir dan Ulumul Quran di International Islamic University Islamabad, mengatakan, Pakistan selalu terlambat dalam menentukan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha.

''Ketika di Arab Saudi dan Indonesia sudah melaksanakan puasa sementara di Pakistan belum dimulai, kami pun ikuti aturan berpuasa dari Saudi atau Indonesia,'' kata Ihsanuddin.

Ketua umum Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di Pakistan itu menyatakan, pada Ramadhan tahun lalu, Pakistan selisih dua hari dalam memulai puasa dengan Saudi Arabia.

''Ini yang sangat disayangkan, sepertinya mereka tidak mempunyai alat canggih teropong bintang untuk melihat hilal,'' katanya. Bahkan, lanjut dia, pernah suatu ketika Departemen Agama Pakistan meminta maaf kepada masyarakatnya karena salah dalam menentukan awal Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri.

Ramadhan di Pakistan, katanya, memang benar-benar tertib dan masyarakatnya memanfaatkan keistimewaan bulan suci ini dalam meningkatkan keimanan dan ketakwaan.

Perbedaan yang mencolok antara Ramadhan dengan bulan-bulan lainnya sangat kelihatan. Yaitu, mulai dari pengurangan jam kerja, penutupan warung-warung makan dan kedai, tradisi peningkatan amalan di bulan Ramadhan dengan banyaknya jamaah shalat lima waktu di masjid, serta dikumandangkannya tilawah-tilawah Al Qur’an setelah shalat Tarawih dan Subuh.

Saat Ramadhan tiba, tutur alumnus Pondok Modern Gontor itu, para karyawan dan pegawai kantoran yang sebelumnya bekerja selama sembilan sampai 10 jam per hari, berubah menjadi tujuh jam.

Di tempat-tempat umum di Pakistan, selama Ramadhan warung-warung makan dan kedai juga ditutup dan dibuka ketika menjelang berbuka. Namun, sebagian warung-warung di terminal ada juga yang dibuka dengan ditutup tenda dan bertuliskan 'Boleh makan bagi musafir'.

Selama Ramadhan, masjid-masjid dipenuhi jamaah setiap kali shalat lima waktu, apalagi ketika Tarawih. Masyarakat Pakistan yang kental dengan Mazhab Hanafi, mayoritas melaksanakan shalat Tarawih 20 rakaat dan tiga Witir, kecuali jamaah ahlul hadist. Mereka shalat Tarawih delapan rakaat dan tiga Witir.

''Untuk imam shalat Tarawih diwajibkan hafidz atau orang yang hafal 30 juz Al Qur’an. Karena tradisi di sini, dalam sebulan Ramadhan, minimal mereka bisa mengkhatamkan Al Qur’an sekali,'' papar  Ihsanuddin.

Iktikaf

Saat memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadhan, sebagian masyarakat Pakistan beriktikaf di masjid-masjid. Mereka membuat sekat-sekat dari kain yang berbentuk kamar di masjid tersebut. Di dalam kamar inilah mereka berdiam sampai berhari-hari sambil membaca Al Qur’an.

Untuk kebutuhan berbuka puasa dan sahur, biasanya keluarga mereka mengantarkannya ke masjid atau disediakan oleh panitia iktikaf.

''Dengan demikian, mereka yang berdiam di masjid itu benar-benar iktikaf dan tidak keluar masjid sama sekali sampai malam Idul Fitri,'' ujarnya. (c81/mad)


Terkait