Terkait maraknya teror bom, Pengurus Wilayah (PW) Nahdlatul Ulama (NU) Jateng mengutuk segala bentuk kekerasan, apalagi mengatasnamakan agama. Meskipun dalam hal ini masih misterius, karena indikatornya belum ada dan belum dipastikan motif pengeboman itu apa.
“Yang jelas, pasti segala bentuk kekerasan, radikalisme yang diwujudkan dalam bentuk teror, siapapun tidak mufakat, jangankan PWNU,” ujar Wakil Ketua PW NU Jateng Abu Hapsin di sela Konferensi Cabang (Konfercab) NU Kab. Tegal di Gedung NU Jalan Raya Procot Slawi, Ahad (20/3).<>
Menurut Hapsin, semua orang yang beragama bahkan yang tidak beragama sekalipun pasti kalau mempunyai ruhani, pasti perbuatan itu terkutuk dan biadab, pengecut.
Hapsin menilai, orang bisa jadi radikal banyak penyebabnya. Antara lain pemahaman keagamaan yang sempit, konflik nilai, mengalami split personality, emosiona. Orang-orang yang emosional antara lain karena pemahaman agamanya tidak ketemu dengan kenyataan apa yang dihadapkan. Kehidupan yang dia alami tidak sesusai dengan pemahaman agamanya.
“Dirinya menghendaki Indonesia menjadi negara Islam, tetapi nyatanya negaranya tidak kunjung menjadi negara islam, maka potensi emosinya meledak,” ujarnya.
Kebetulan, lanjut Hapsin, trigernya ada, pemicunya ada. Yaitu ketidakadilan, distribusi ekonomi yang tidak merata, hukum yang amburadul, mafia peradilan dimana-mana. “Saya kira ini harus disadari poemerintah,” tegasnya..
Nah, orang-orang yang dalam keadaan tertekan, dalam emosional, ledakan emosi itu diwujudkan dalam bentuk tindakan teror.
PWNU Jateng, kata Hapsin, tidak bisa mengambil tindakan melawan atau diam saja terhadap berbagai teror yang marak. Tetapi melakukan pendekatan sisi keagamaan. Nahdliyin juga diminta tetap tenang. NU, tetap menyebarkan Islam yang rahmatan lil alamin. Dengan Tetap menghargai pluralitas dan tidak boleh mengabsolutkan pemahaman keagamaan. “Karena mengabsolutkan pemahaman agama salah satu bibit yang membuat kita emosiona,” tandas Hapsin yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Prov Jateng itu.
Langkah yang diambil PWNU Jateng dengan mengadakan rapat dengan berbagai pihak terkait seperti pihak kepolisian, BIN Daerah Jateng, Bintel dari kodam dan Polda. Rapat yang digelar itu, antara lain mencari jalan keluar, dengan memberi solusi bagaimana agar gerakan radikalisme bisa terhenti.
NU lanjut Hapsin, diminta memberi solusi dari sisi pendekatan keagamaan. Maka NU pun menawarkan dialog, mengajak dialog mereka yang keras-keras itu supaya membuka diri. Jangan memutlakan hasil pemahamannya, menghargai perbedaan.
“Kalau orang NU sudah terbiasa sekali dengan kehidupan diantara perbedaan, yang dibahas lewat batsul masail,” imbuhnya.
Sementara Pengasuh Pondok Pesantren Al Falah Jatilawang Ahmad Tohari Banyumas menilai kalau pengeboman itu bersinggungan dengan ranah politik. Yang namanya politik, bisa melakukan tindakan segala secara. Kita pasti tidak setuju dengan kekerasan seperti itu. Tapi saya juga tidak bisa menjustivikasi siapa dibalik teror bom itu. Itu tugas polisi untuk mengungkap itu siapa.
“Kita hanya wajib berusaha mendinginkan suasana agar hal-hal seperti itu tidak terjadi lagi,” tutur pengarang Ronggeng Dukuhparuk itu.
Dari sudut budaya, Ahmad Tohari menilai kalau pengeboman itu telh melanggar adat Indonesia. Kita sadar, bahwa segala persoalan bisa diselesaikan. “ Ana rembug ya dirembug, kalau ada masalah ya diselesaikan. Bukan diledakan seperti itu,” pungkasnya. (was).