Seluruh program pelayanan kesehatan NU yang diselenggarakan oleh Lembaga Pelayanan Kesehatan (LPKNU) dipusatkan di pondok pesantren sebagai basis kultural NU.
Hal ini disampaikan oleh Ketua LPKNU Dr Syahrizal Syarif dalam pembukaan rountable discussion HIV/AIDS Masalah Kemanusiaan yang diselenggarakan di Jakarta, Kamis (12/11).<>
Beberapa program yang berbasis pesantren diantaranya adalah program penanggulangan Narkoba yang bekerjasama dengan Colombo Plan, program penanggulangan bencana berbasis komunitas bekerjasama dengan AusAid serta program bantuan buat pengungsi korban bencana alam dengan UNOCHA.
LPKNU saat ini juga turut aktif dalam penanggulangan penyakit HIV/AIDS yang belakangan ini penyebarannya semakin meluas melalui hubungan seks dan penggunaan jarum suntik narkoba secara bergantian.
Bagi sebagian umat Islam, AIDS masih dianggap sebagai penyakit kutukan bagi para pendosa. Peran masyarakat sipil, termasuk organisasi keagamaan dalam mencegah ummatnya untuk melakukan tindakan-tindakan perzinaan dan penggunaan narkoba sebagai tahapan paling awal dan paling penting mencegah HIV/AIDS sangat diperlukan.
“Kita berharap peran NU dalam penanggulangan HIV/AIDS sama seperti keberhasilan NU dalam mengkampanyekan program KB yang dulu juga ditentang oleh masyarakat,” katanya.
Ia berharap ada tokoh NU yang bisa menjadi pendobrak, yang mampu menyadarkan masyarakat betapa berbahayanya penyakit HIV/AIDS sehingga mereka dapat mencegah dirinya dari penyebaran penyakit ini. Dikatakannya, pada masa kampanye keluarga berencana, figur KH Ali Yafie sangat dikenal karena komitmennya untuk mendorong masyarakat mengikuti program KB ini.
Syahrizal yang juga dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI ini menjelaskan, terdapat empat aspek yang terkait dengan penanggulangan penyakit HIV/AIDS, pertama, keterlibatan NU dalam edukasi, pembuatan kebijakan dan legislasi yang mendorong pada pencegahan HIV/AIDS, kedua, pemberian pelayanan kesehatan, uji test HIV/AIDS, konseling, yang mana lembaga pelayanan kesehatan milik NU dapat terlibat di dalamnya.
Ketiga, menggerakkan masyarakat NU, kultural dan struktural dengan kiai sebagai role model untuk menyadarkan masyarakat tentang HIV/AIDS sehingga mereka akan tahu dan berusaha menghindarinya, keempat, perubahan perilaku masyarakat dengan memperkuat nilai-nilai moral dan agama sebagai pertahanan diri dalam menghadapi penyakit ini.
“Para kiai dalam memberikan konseling, panduan-panduan syariah, termasuk pertobatan karena rentang penyakit ini dari HIV menjadi AIDS sangat lama,” tuturnya.
Upaya pencegahan dengan menggunakan kondom bagi kelompok beresiko tinggi dan sosialisasi penggunaan jarum suntik sekali pakai bagi pengguna narkoba masih menjadi tantangan dan persoalan sensitif bagi banyak kalangan.
Kondom, meskipun terbukti mampu mencegah terjadinya penularan, seperti yang terjadi di Thailand, disisi lain, bisa menimbulkan persepsi legalisasi atau munculnya sikap permisif pada perilaku seks bebas sementara sosialisasi penggunaan jarum suntik sekali pakai juga berbenturan dengan aturan hukum karena pengguna narkoba masih dianggap sebagai perilaku kriminal.
“Upaya terbaik seperti yang dilakukan NU adalah mencegah terjadinya perilaku menyimpang seperti seks bebas dan menggunakan narkoba serta memberikan konseling bagi mereka yang sudah terkena HIV/AIDS,” tandasnya. (mkf)