Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementrian Agama, Prof Dr Muhammad Machasin. mengakui saat ini sulit menjawab adanya kajian Islam yang serius dan berkelanjutan di Indonesia. Yang banyak dilakukan adalah pengajian di majelis taklim atau madrasah yang membuat orang faham, ngerti dan bisa mengamalkan.
“Kalau pengajian dalam pengertian membahasan topik keislaman secara serius dengan mengikuti kaidah pencarian data, analisis dan penyimpulan yang bener, ini masih langka. Indikatornya, tak muncul karya ilmiah seperti itu, kecuali untuk disertasi dan thesis,” katanya dalam diskusi Kamisan NU Online, (14/10).<>
Machasin yang juga rais syuriyah PBNU ini mengkategorikan dosen dalam perguruan tinggi Islam dalam dua kelompok. Pertama, orang yang taklid, menerima pengetahuan yang sudah ada tanpa mengkritisi, tetapi semangat keagamannya tinggi.
Kedua, orang yang mau membuka diri pada ilmu modern, tetapi basis keislamannya lemah. Bisa bicara sosiologi dan lainnya, tetapi tak tahu Islam. Yang mampu menggabungkan kedua sisi ini belum banyak.
“Kita tak punya pendidikan ulama, sementara untuk menjadi ulama diperlukan pengetahuan lain. Saya sebenarnya berharap orang pesantren yang ngerti literatur Arab, dan belajar di IAIN yang tahu ilmu luarnya (sosiologi. filsafat, dll.red,” tandasnya.
Jika hanya menyediakan lembaga pendidikan Islam seperti yang ada sekarang, hanya akan menyediakan kebutuhan untuk publik luas, tapi tak akan mampu menghasilkan sebuah pemikiran besar.
Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi pusat kajian dan penelitian saat ini hanya melakukan penelitian yang sifatnya parsial sesuai dengan kemauan penyandang dana. Akhirnya perguruan tinggi juga hanya menyediakan layanan pengajian.
“Yang menggeluti betul, meneliti terus-menerus jarang, hatta Nurcholis Madjid tak menyelesaikan dengan tuntas. Biasanya antara kemampuan, kesempatan dan waktu yang cukup tidak ketemu,” terangnya.
Para dosen lebih disibukkan dengan kegiatan mengajar, mengoreksi atau melakukan penelitian kecil-kecilan. “Ulama kita waktunya habis untuk melayani masyarakat, tak sempat melakukan pemikiran. Terbukti kegiatan bahstul masail yang datang lebih banyak para santri, kiai sudah tak sempat,” tandasnya.
Di sisi lain, sekarang terdapat fenomena baru, orang yang berbicara atas nama Islam bukan hanya ulama yang sebenarnya, tetapi siapa saja bisa bicara tentang Islam, mengatasanamakan Islam yang kadangkala logikanya tidak jalan, hanya ngerti satu dua ayat lalu berdalil. Sementara orang yang ngerti dan tahu betul mungkin tidak sempat atau tak tahu bagaimana berhadapan dengan teknologi modern.
“Kalau saya melihat kemampuan banyak yang bisa, kemampuan meneliti, tetapi yang kurang orang yang sempat,” ujarnya.
Sikap Inferior
Faktor lain yang membuat pengkajian Islam di Indonesia kurang berkembang dibandingkan dengan adalah faktor historis. Sikap budaya orang Indonesia tak melahirkan orang yang berani dan mampu menghadirkan fikiran yang ssegar tentang Islam karena merasa kecil hati atau rendah diri ketika berhadapan dengan fihak lain.
“Dihadapan Yusuf Qardawi kita tak berani ngomong. Berhadapan dengan Wahbah Zuhaili juga, inferior. Kita masih merasa kalah dengan Al Azhar, bahkan adengan pesantren tak begitu terkenal dengan di Yaman,” tandasnya.
Ia menuturkan, disatu sisi, perguruan tinggi Islam di Indonesia lebih baik karena rasio antara dosen dan mahasiswa di Al Azhar 1 : 100 sementara di Indonesia lebih kecil sehingga mampu memberi pelayanan yang lebih baik pada tiap mahasiswa.
Berkutat pada Tunjangan Profesi
Yang menjadi keprihatinanya atas sikap akademisi di Indonesia adalah mereka masih berkutat pada bagaimana menaikkan tunjangan profesi, tetapi setelah itu tidak ada kenaikan kinerja dan kemampuan menghasilkan karya (bersambung). (mkf)