Jakarta, NU Online
KH Muchit Muzadi mengatakan bahwa NU dilahirkan bukan sebagai parpol, tetapi memiliki kekuatan politik yang luar biasa. Pertanyaannya adalah bagaimana menyalurkan aspirasi politik tersebut secara benar ungkapnya dalam rapat pleno PBNU di Jakarta (22/08).
“NU menyembunyikan asprasi politiknya, kecuali pada saat peristiwa-peristiwa besar. Jaman Jepang ketika NU melakukan dakwah di tengah pelarangan tentara, penerimaan NU atas Masyumi sebagai satu-satunya parpol Islam, dll,” ungkap KH Muchit Muzadi.
<>Sementara itu Wakil Katib PBNU Masdar F. Mas’udi dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa di semua daerah naluri politik warga NU begitu tinggi dan pembicaraan mengenai tema-tema politik merupakan pembicaraan yang menarik. “Sebenarnya kalau jadi parpol kayaknya cocok dengan naluri politik warga NU dari puncak sampai daerah, namun demikian, naluri tersebut tidak boleh dibiarkan secara bebas,”ungkapnya
Dalam hal ini KH Hasyim Muzadi berpendapat bahwa NU tidak boleh menjadi partai. “Jika partai, seluruh gerakan-gerakan tata nilai akan ludes,” ungkapnya.
KH Muchit Muzadi menambahkan bahwa selama menjadi parpol banyak tugas keagamaannya menjadi terbengkalai. Namun demikian, ketika warga NU membuat wadah politik seringkali wadah tersebut tidak dapat digunakan sebagai saluran aspirasi warganya sehingga menimbulkan gangguan-gangguan. “Contohnya ketika NU keluar dari Masyumi, permasalahan dengan PPP, dan kondisi politik saat ini,” tambahnya.
Berkaitan dengan pemilu 2004 yang akan datang, KH Hasyim Muzadi berpendapat bahwa posisi NU baik jika tidak ada pemihakan dan akan turun jika ada pemihakan.
Sementara itu jika ada tokoh NU yang dicalonkan, baik dalam jajaran legislatif maupun jajaran eksekutif, pencalonan tersebut tidak boleh mengganggu kapal induknya. “Mereka harus menjaga nama, kebesaran, dan citra NU dan ini tidak boleh menjadi fokus kegiatan NU,” tambahnya.(mkf)